PERHATIKAN POSISI SHAFF ANDA DENGAN BENAR !!!
POSISI SHAFF DI DALAM SHOLAT
بسم الله الرحمن الرحيم
1). Mengisi Shaff pertama
Dari al-Barra bin Azib radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ وَ مَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصُّفُوْفِ اْلأَوَّلِ
“Sesungguhnya Allah dan para
malaikat-Nya mengucapkan sholawat kepada shaff pertama”. [HR Abu Dawud:
664, an-Nasa’iy: II/ 89-90, Ibnu Majah: 997, 999 dan al-Hakim: 2146,
2156, 2173. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]
Dari Jabir bin Samurah radliyallahu
anhuma berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar
menemui kami lalu bersabda,
أَلَا تَصُفُّوْنَ كَمَا تَصُفُّ اْلمـَلَائِكَةُ
عِنْدَ رَبِّهَا ؟ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ كَيْفَ تَصُفُّ
اْلمـَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا ؟ قَالَ: يُتِمُّوْنَ الصُّفُوْفَ
اْلأَوَّلِ وَ يَتَرَاصُّوْنَ فِى الصَّفِّ
“Tidakkah kalian bershaff
(berbaris) sebagaimana bershaffnya para malaikat di sisi Rabb mereka?”.
Kami bertanya, “Wahai Rosulullah bagaimana caranya para malaikat itu
bershaff di sisi Rabb mereka?”. Beliau menjawab, “Yaitu mereka
menyempurnakan shaff-shaff pertama dan rapat di dalam shaff”. [HR
Muslim: 430 dan Abu Dawud: 661. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَ
الصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوْا
عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوْا عَلَيْهِ
“Seandainya manusia
mengetahui apa yang terdapat di dalam (mengumandangkan) adzan dan shaff
pertama, lalu mereka tidak menjumpai kecuali mereka harus mengundinya
niscaya mereka akan mengundinya”. [HR al-Bukhoriy: 615, 653, 721, 2829,
5733 dan Muslim: 437]. [3]
Dari Abu Said Al-Khudriy bahwa Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam melihat para sahabatnya terlambat, maka
beliau bersabda kepada mereka,
تَقَدَّمُوا فَأْتَمُّوا بِي وَلْيَأْتَمَّ بِكُمْ مَنْ بَعْدَكُمْ لَا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمُ اللَّهُ
“Kalian majulah ke depan dan bermakmumlah
di belakangku, dan hendaklah orang yang datang setelah kalian bermakmum
di belakang kalian. Senantiasa suatu kaum itu membiasakan diri
terlambat mendatangi shalat, hingga Allah juga menunda (memberikan
rahmat-Nya kepada) mereka”. [HR. Muslim: 438 dan Abu Dawud: 680. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]
Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk
memenuhi shaff yang pertama dan terdepan terlebih dahulu lalu yang
selanjutnya.
Bahkan dianjurkan untuk mengisi shaff
yang berada di sebelah kanan imam, karena dahulu para shahabat
radliyallahu anhum sangat menyukai jika mereka berdiri di shaff yang
terdepan dan di sebelah kanan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits berikut,
Dari al-Barra’ bin Azib berkata,
ُكُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله
عليه وسلم أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا
بِوَجْهِهِ قَالَ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ
تَبْعَثُ أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ
“Kami apabila sholat di belakang
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kami ingin berdiri di sebelah
kanannya yang Beliau menghadapkan wajahnya kepada kami”. Berkata
al-Barra’, Aku mendengar beliau berdoa, “Ya Allah jauhkanlah aku dari
adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan atau mengumpulkan
hamba-hambaMu”. [Atsar riwayat Muslim: 709, Ibnu Majah: 1006,
an-Nasa’iy: II/ 94 dan Abu Dawud: 615. Dan dishahihkan oleh asy-Syaikh
al-Albaniy]. [5]
Dari Aisyah berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوفِ
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya
berselawat ke atas orang-orang yang berada di shaff sebelah kanan.” [HR
Abu Dawud: 676. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [6]
2). Yang berhak di belakang Imam.
Ketika ikomat dikumandangkan, maka
seluruh jamaah sholat hendaknya mempersiapkan diri dengan berdiri di
belakang tempat berdirinya imam dengan membentuk barisan dengan
merapatkan dan meluruskan shaff.
Hendaknya yang di belakang imam langsung
itu adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian dan akal dari kalangan
ahli ilmu, hafal banyak ayat dari Alqur’an dan fasih dalam membacanya,
memahami aturan sholat yang sesuai syar’iy dan sebagainya. Hal ini
disebabkan,
a). Bentuk penghormatan bagi orang yang memiliki ilmu Alqur’an dan sunnah.b). Dapat mengingatkan imam jika terjadi kesalahan bacaan ayat atau kekeliruan gerakan sholat dari imam tersebut.
c). Dapat mengganti posisi imam, jika imam batal sholatnya karena suatu sebab.
Dari Abu Mas’ud radliyallahu anhu
berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam meluruskan
pundak-pundak kami ketika hendak mengerjakan sholat (secara berjamaah)
dan bersabda,
اسْتَوُوْا وَ لاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ
لِيَلِنِى مِنْكُمْ أَوْلُو اْلأَحْلَامِ وَ النُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Luruskan (shaff-shaff kalian) dan
janganlah berselisih yang akan menyebabkan hati-hati kalian juga
berselisih. Hendaklah yang dekat denganku di antara kalian adalah
orang-orang yang memiliki kepintaran dan akal. Lalu orang-orang
berikutnya kemudian orang-orang berikutnya”. [HR Muslim: 432 (122), Abu
Dawud: 674, an-Nasa’iy: II/ 87, 88, 90, Ibnu Majah: 976 dan Ahmad: IV/
122. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[7]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied
al-Hilaliy hafizhohullah, “Dianjurkan setelah imam itu (shaffnya) para
hafizh (penghafal Alqur’an) dan orang yang memahami Alqur’an dan sunnah
kemudian selain mereka. Terdapat penjelasan akan keutamaan ilmu tentang
Alqur’an dan sunnah Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Karena hal
tersebut menjadi penyebab didahulukannya mereka atas selain mereka
(dalam banyak hal)”. [8]
Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
لِيَلِنِى مِنْكُمْ أُوْلُوا اْلأَحْلَامِ وَ النُّهَى ثُمَّ يَلُوْنَهُمْ (ثلاثا) وَ إِيَّاكُمْ وَ هَيْشَاتِ اْلأَسْوَاقِ
Hendaklah yang dekat denganku di antara
kalian adalah orang-orang yang memiliki akal dan kepintaran, lalu
orang-orang berikutnya (tiga kali). Dan jauhilah membuat kebisingan
seperti di pasar”. [HR Muslim: 432 (123), Abu Dawud: 675, at-Turmudziy:
228 dan Ahmad: I/ 457. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]
Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah,
“Di dalam hadits ini terdapat dalil dalam mendahulukan orang paling
utama lalu selanjutnya di belakang imam. Karena mereka itu orang yang
paling utama untuk dimuliakan. Boleh jadi mereka juga orang yang
dibutuhkan oleh imam untuk menggantikannya (jika batal), maka hal ini
tentu lebih utama. Penyebab lainnya adalah karena untuk mengingatkan
imam apabila lupa (keliru), sedangkan selain mereka tidak dapat
melakukan hal tersebut”. [10]
3). Shaff pria dan wanita.
Jika di dalam shaff sholat berjamaah
terdapat banyak kaum laki-laki dan wanita, maka posisi shaff laki-laki
adalah di depan bahkan yang terbaik bagi mereka adalah yang paling depan
dan yang paling jelek adalah yang paling belakang. Sedangkan shaff para
wanita adalah di belakang bahkan shaff yang terbaik bagi mereka adalah
yang paling belakang dari shaff sedangkan yang paling buruk adalah yang
paling depan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata, Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaff kaum laki-laki adalah
yang paling awal, dan sejelek-jeleknya adalah paling terakhir. Dan
sebaik-baik shaff wanita adalah paling terakhir, dan sejelek-jeleknya
adalah yang paling awal”. [HR. Muslim: 440, Abu Dawud: 678, an-Nasa’iy:
II/ 93, at-Turmudziy: 224, Ibnu Majah: 1000 dan Ahmad: II/ 247. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied
al-Hilaliy hafizhohullah, “Dianjurkan bagi kaum lelaki untuk bersegera
datang ke masjid agar mereka mendapatkan keutamaan pahala mendahului
(datang ke masjid) dan memperoleh shaff yang pertama. Sedangkan kaum
wanita dianjurkan untuk mengakhirkan kehadirannya ke masjid agar
memperoleh keutamaan shaff yang paling akhir”. [12]
Dari Jabir bin Abdullah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ مُقَدَّمُهَا وَشَرُّهَا مُؤُخِّرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ مُؤُخِّرُهَا وَشَرُّهَا مُقَدَّمُهَا
“Sebaik-baik shaff kaum laki-laki adalah
di depan, dan sejelek-jeleknya adalah paling belakang. Dan sebaik-baik
shaff wanita adalah paling belakang, dan sejelek-jeleknya adalah yang
paling depan”. [HR Ibnu Majah: 1001. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [13]
Berkata asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman
hafizhohullah, “Yang dimaksud dengan seburuk-buruk shaff pada kaum
lelaki dan wanita adalah yang paling sedikit pahala dan keutamaannya dan
yang paling jauh dari tuntutan syariat. Sedangkan yang dimaksud
sebaik-baiknya adalah kebalikannya”. [14]
4). Beberapa posisi imam dan makmum di dalam sholat.
Untuk lebih mudah dipahami akan
dijelaskan secara ringkas disini beberapa posisi shaff yang dapat
terjadi dalam keseharian kaum muslimin ketika hendak mengerjakan sholat.
a). Apabila makmum seorang pria saja. Dari Jabir berkata,
كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فِى سَفِرٍ
فَانْتَهَيْنَا إِلَى مَشْرَعَةٍ فَقَالَ: أَلَا تُشْرِعُ يَا جَابِرُ؟
قُلْتُ: بَلَى قَالَ فَنَزَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ
أَشْرَعْتُ قَالَ ثُمَّ ذَهَبَ لِحَاجَتِهِ وَ وَضَعْتُ لَهُ وَضُوْءًا
قَالَ فَجَاءَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ
خَالَفَ بَيْنَ طَرَفَيْهِ فَقُمْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِى
فَجَعَلَنِى عَنْ يَمِيْنِهِ
“Saya pernah bersama Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam di dalam suatu perjalanan. Lalu kami sampai
di sebuah jalan di pinggir sungai. Beliau bersabda, “Jangan engkau
memulainya wahai Jabir”?. Aku berkata, “Ya”. Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallampun singgah dan akupun memulainya. Kemudian Beliau pergi
untuk menunaikan hajatnya dan akupun menyediakan air wudlu untuknya.
Lalu Beliaupun datang dan berwudlu, kemudian sholat dengan mengenakan
satu kain yang diselempangkan antara dua ujungnya. Dan akupun berdiri di
belakangnya lalu Beliau memegang telingaku dan meletakkanku di sebelah
kanannya. [HR Muslim: 766].
Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma dia berkata,
بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ
فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ
عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ
ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ
قَالَ خَطِيطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
“Aku pernah menginap di rumah bibiku,
Maimunah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi shalat
‘isya kemudian kembali ke rumah dan shalat sunnat empat rakaat, kemudian
beliau tidur. Saat tengah malam beliau bangun dan shalat malam, aku
lalu datang untuk ikut shalat bersama beliau dan berdiri di samping kiri
beliau. Kemudian beliau menggeserku ke sebelah kanannya, lalu beliau
shalat lima rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian tidur hingga aku
mendengar suara dengkur beliau. Setelah itu beliau kemudian keluar untuk
shalat (shubuh)”. [HR. al-Bukhari: 117, 138, 183, 697, 698, 699, 726,
728, 859, 5919, 6316, an-Nasa’iy: II/ 87 dan at-Turmudziy: 233. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]
Imam al-Bukhariy rahimahullah memberikan judul bab terhadap hadits di atas,
بَابُ: يَقُوْمُ عَنْ يَمِيْنِ الإمامِ بِحِذائِهِ سَواء إِذا كانا اثْنَيْنِ
“Bab, (makmum) berdiri sejajar tepat di samping kanan imam jika mereka hanya sholat berdua”. [16]
Kemudian dalam Kitab Fat-h al-Bariy
Syar-h Shahih al-Bukhariy, al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy
rahimahullah (wafat tahun 852H) menguatkan apa yang ditegaskan oleh Imam
al-Bukhariy tersebut dengan beberapa atsar shahabat dan tabi’in. Di
antaranya adalah sebagaimana berikut,
Dari Abdullah bin Utbah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
دَخَلْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِالْهَاجِرَةِ
فَوَجَدْتُهُ يُسَبِّحُ، فَقُمْتُ وَرَاءَهُ فَقَرَّبَنِي حَتَّى جَعَلَنِي
حِذَاءَهُ عَنْ يَمِينِهِ
“Aku pergi masuk mengunjungi Umar bin al-Khaththab pada waktu siang.
Aku dapati beliau sedang sholat sunnah. Maka aku pun berdiri di
belakangnya (sebagai makmum). Lalu beliau menarikku ke arahnya dan
menempatkanku sejajar di sisi kanannya”. [17]Ibnu Juraij berkata,
قُلْتُ لِعَطَاءٍ الرَّجُلُ يُصَلِّي مَعَ الرَّجُلِ أَيْنَ
يَكُوْنُ مِنْهُ؟ قَالَ إِلَى شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ قُلْتُ أَيُحَاذِى بِهِ
حَتَّى يَصِفَّ مَعَهُ لَا يَفُوْتُ أَحَدُهُمَا اْلآخَرَ قَالَ نَعَمْ
قُلْتُ أَتُحِبُّ أَنْ يُسَاوِيَهُ حَتَّى لَا تَكُوْنَ بَيْنَهُمَا
فُرْجَةٌ قَالَ نَعَمْ
“Aku bertanya kepada Atha’, “jika seorang
lelaki solat bersama seorang lelaki, maka di mana ia perlu berdiri?”
Jawab Atha’, “Di sisi kanannya.” Aku bertanya lagi, “Adakah ia berdiri
sejajar dengan imam sehingga posisi mereka seperti satu shaff, salah
seorang dari keduanya tidak maju?”. Atha’ menjawab, “Benar.” Aku
bertanya lagi, “Adakah engkau suka kalau ia berdiri rapat sehingga tidak
ada lagi celah di antara keduanya?”. Atha’ menjawab, “Ya”. [18]
Dua hadits dan beberapa astar di atas
menjelaskan bahwa jika ada dua orang hendak sholat, maka posisinya
adalah makmum berada di sebelah kanan imam bukan di belakangnya
sebagaimana yang biasa dilakukan oleh masyarakat awam. Biasanya kaum
awam jika terjadi hal seperti ini, akan tetap mengerjakan sholat, imam
di depan sedangkan makmumnya tepat di belakangnya. Atau juga makmumnya
di belakang sebelah kanan imam dan terkadang makmumnya maju sedikit
dekat dengan imam namun tidak sejajar dengannya.
Padahal jika terjadi seorang imam
mempunyai seorang makmum lelaki saja maka letak makmum itu di sebelah
kanan tepat di sampingnya tidak mundur sedikitpun dengan menempelkan
mata kaki dan bahu keduanya.
Dan jika sedang terjadi sholat yang
terdiri dari seorang imam dan seorang makmum yang berdiri sejajar, lalu
datang lagi seorang makmum pria maka imam berhak untuk mendorong makmum
yang di sebelah kanannya untuk disejajarkan dengan makmum yang baru
datang di belakangnya.
Hal ini didasarkan pada hadits Jabir yang panjang, yang sebagiannya berbunyi,
ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى
أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ
ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ
“Kemudian aku datang sampai berdiri di
sebelah kiri Rosulullah, lalu beliau memegang tanganku dan menarikku
hingga membuatku berdiri di sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin
Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, lalu Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memegang tangan kami berdua dan mendorong kami hingga
membuat kami berdiri di belakang beliau”. [HR Muslim: 3010].
b). Posisi Imam, seorang makmum pria dan seorang makmum wanita.
Lalu jika terdapat makmum seorang lelaki
dan seorang wanita, maka posisinya adalah letak makmum di sebelah kanan
sejajar dengan imam dan letak wanita dibelakang mereka berdua.
Dari Abdullah bin Abbas radliyallahu anhuma berkata,
صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم
وَ عَائِشَةُ خَلْفَنَا تُصَلِّى مَعَنَا وَ أَنَا إِلَى جَنْبِ
النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أُصَلِّى مَعَهُ
“Aku sholat di sisi Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam dan Aisyah di belakang kami sholat bersama
kami. Sedangkan aku di samping Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sholat
bersamanya”. [HR an-Nasa’iy: II/ 86 dan Ahmad: I/ 304. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]
Dari Anas radliyallahu anhu berkata,
صَلَّى بِى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ
بِامْرَأَةِ مِنْ أَهْلِى فَأَقَامَنِى عِنْ يَمِيْنِهِ وَ اْلمـَرْأَةُ
خَلْفَنَا
“Rosulullah Shallallahu alaihi
wa sallam pernah sholat bersamaku dan seorang wanita dari keluargaku.
Beliau menempatkan aku di sebelah kanannya dan wanita itu di belakang
kami”. [HR an-Nasa’iy: II/ 86-87 dan Muslim: 660. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [20]
c). Posisi Imam, dua orang makmum pria dan seorang wanita.
Lalu jika ada dua orang makmum lelaki dan
seorang makmum wanita, maka letak posisi makmum lelaki adalah di
belakang imam sedangkan letak makmun wanita berada di belakang makmum
lelaki.
Dari Anas radliyallahu anhu berkata,
صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
“Aku sholat bersama seorang anak yatim di
rumah kami di belakang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dan ibuku
Ummu Sulaim di belakang kami” [HR al-Bukhoriy: 727, Muslim: 658, Abu
Dawud: 612, at-Turmudziy: 234 dan an-Nasa’iy: II/ 85-86. Berkata
asy-Syaikh al-Baniy: Shahih]. [21]
d). Posisi Imam, seorang makmum pria dan makmum dua wanita.
Apabila imam memiliki seorang makmum
lelaki dan dua orang wanita, maka letak makmum pria berada di sebelahkan
sejajar dengannya sebagaimana telah dijelaskan. Sedangkan letak kedua
makmum wanitanya tetap berada di belakang imam dan makmum lelaki.
Dari Anas,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ أَوْ خَالَتِهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ
وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا
“Sesungguhnya Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam solat dengannya dan ibunya atau bibinya. Anas berkata,
“Lalu Rosulullah meletakkanku berdiri di sebelah kanannya dan wanita di
belakang kami.” [HR Muslim: 660 (269), an-Nasa’iy: II/ 86, Abu Dawud:
609 dan Ahmad: III/ 258. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [22]
e).Posisi imam dan makmum lebih dari dua orang.
Sedangkan jika imam mempunyai banyak
makmum dari golongan lelaki dan wanita, maka posisi mereka sebagaimana
telah dijelaskan oleh keumuman dalil-dalil yang telah lalu.
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dia berkata, Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaff kaum laki-laki adalah
yang paling awal, dan sejelek-jeleknya adalah paling terakhir. Dan
sebaik-baik shaff wanita adalah paling terakhir, dan sejelek-jeleknya
adalah yang paling awal”. [HR. Muslim: 440, Abu Dawud: 678, an-Nasa’iy:
II/ 93, at-Turmudziy: 224, Ibnu Majah: 1000 dan Ahmad: II/ 247. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [23]
Dari Jabir radliyallahu anhu di dalam hadits yang panjang, di antaranya,
ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى
أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ
ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ
“Kemudian aku datang sampai berdiri di
sebelah kiri Rosulullah, lalu beliau memegang tanganku dan menarikku
hingga membuatku berdiri di sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin
Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, lalu Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam memegang tangan kami berdua dan mendorong kami hingga
membuat kami berdiri di belakang beliau”. [HR Muslim: 3010].
f). Posisi Imam dan makmumnya para wanita.
Lalu apabila kaum wanita hendak
mengerjakan sholat berjamaah, sedangkan tidak ada imam lelaki maka
posisinya adalah mereka membentuk shaff yang lurus dan rapat dengan
menempelkan kaki dengan kaki dan bahu dengan bahu di antara mereka dan
letak imam mereka ada di tengah-tengah mereka di shaff terdepan.
Hal ini pernah dilakukan dan dicontohkan
oleh beberapa sahabat wanita seperti Ummu Salamah, Aisyah dan Ummu
Waraqah radliyallahu anhunna.
Dari Raithoh al-Hanafiyah,
أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَقَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِي صَلَاةٍ مَكْتُوْبَةٍ
“Bahwasanya Aisyah dahulu pernah
mengimami para wanita di dalam sholat wajib dan beliau berdiri (sejajar)
ditengah-tengah mereka”. [HR. ‘Abdurrazaq, ad-Daruquthniy, al-Hakim dan
al-Baihaqi].
Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Namun
hadits ini dilemahkan/ didla’ifkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy, namun
dia memiliki penguat dari hadits Hujairoh binti Hushain. Begitu juga hal
yang sama dilakukan oleh Ummu Salamah.[24]
Dari Hujairoh binti Husain, dia mengatakan,
أَمَّتْنَا أُمُّ سَلَمَةَ فِي صَلَاةِ اْلعَصْرِ قَامَتْ بَيْنَنَا
“Ummu Salamah pernah mengimami kami (para wanita) ketika sholat Ashar dan beliau berdiri di tengah-tengah kami”. [HR
Abdurrazaq, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqiy. Riwayat ini memiliki
penguat dari riwayat lainnya dari jalur Qotadah dari Ummul Hasan].
Dari Qotadah dari Ummu al-Hasan
bahwasanya ia pernah melihat Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam mengimami para wanita dan ia berdiri bersama mereka di dalam
shaff mereka. [HR Ibnu Abi Syaibah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: atsar
ini sanadnya shahih].[25]
Ada pula ulama yang menganjurkan shalat
jama’ah bagi wanita dengan sesama mereka berdasarkan hadits dalam
riwayat Abu Dawud dalam Bab “Wanita sebagai imam”,
Dari Ummu Waraqah binti Abdullah bin al-Harits berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَزُورُهَا فِى
بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ
تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا. قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ
مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيرًا.
“Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam
pernah mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya. Dan beliau menjadikan
untuknya seseorang untuk mengumandangkan adzan. Lalu beliau memerintah
Ummu Waraqah untuk mengimami para wanita di rumah tersebut”. [HR Abu
Dawud: 592. Berkata Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [26]
Abdurrahman bin Kholad mengatakan bahwa yang mengumandangkan adzan tersebut adalah seorang pria tua.5). Hukum sholat sendirian di belakang imam.
Banyak terjadi di kalangan kaum muslimin
yang mengerjakan sholat dengan menempatkan posisi shaff sendirian di
belakang shaff padahal shaff-shaff yang di depannya masih ada yang
kosong. Bahkan juga banyak ditemui beberapa dari kaum muslimin yang
mengambil tempat sholat jauh dari shaff-shaff yang ada, yaitu mereka
berdiri di sebelah kanan atau kiri atau bahkan di belakang sendirian dan
menjauh dari shaff-shaff yang ada. Perilaku ini dikarenakan kejahilan
mereka dan jauhnya mereka dari pengajaran alqur’an dan sunnah. Dan
perbuatan ini jelas tidak dibenarkan dan wajib bagi yang melakukan ini
untuk mengulang kembali sholatnya karena tidak ada sholat bagi orang
yang sholat di belakang sendirian.
Dari Ali bin Syaiban (dan ia termasuk
dari utusan) berkata, kami pernah keluar sehingga mendatangi Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu kami berbaiat (berjanji setia)
kepadanya dan sholat di belakangnya. Kemudian kami sholat dengan sholat
yang lain di belakangnya. Lalu Beliau menyelesaikan sholatnya dan
melihat seorang pria sholat sendirian di belakang shaff. Lalu Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam berdiri di dekatnya, ketika ia selesai
sholat, Beliau bersabda,
اسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ لَا صَلَاةَ لِلَّذِى خَلْفَ الصَّفِّ
“Ulangilah sholatmu, karena tidak ada
sholat bagi orang yang di belakang shaff (sendirian)”. [HR Ibnu Majah:
1003, at-Turmudziy: 230 dan Ahmad: IV/ 23, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]
Dari Hilal bin Yasaf berkata, Ziyad bin
Abu al-Ja’d pernah menarik tanganku dan meletakkanku di dekat seorang
syaikh di Roqqoh yang di kenal dengan nama Wabishoh bin Ma’bad. Lalu ia
berkata,
أَنَّ رَجُلًا صَلَّى خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنْ يُعِيْدَ الصَّلَاةَ
“Pernah ada seorang pria sholat di
belakang shaff sendirian lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
menyuruhnya untuk mengulangi (sholatnya)”. [HR Ibnu Majah: 1004,
at-Turmudziy: 230, 231 dan Abu Dawud: 682. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [28]
Demikian beberapa penjelasan tentang
posisi shaff di dalam sholat yang merupakan salah satu dari
sunnah-sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang banyak diabaikan
dan dianggap remeh oleh sebahagian besar kaum muslimin.
Mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat
untukku, keluargaku dan seluruh kaum muslimin agar semakin
menyempurnakan ibadah sholat mereka dan mendapatkan balasan pahala yang
terbaik kelak di hari kiamat, dimana pada hari itu tidak akan berguana
lagi harta benda ataupun pangkat derajat.
Wallahu a’lam bish Showab.
[1]
Shahih Sunan Abu Dawud: 618, Shahih Sunan Ibnu Majah: 816, 818, Shahih
Sunan an-Nasa’iy: 781, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1842, Misykah
al-Mashobih: 1101, dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 507, 513.
[2] Shahih Sunan Abu Dawud: 615, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 496.
.[3] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 487.
.[3] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 487.
[4] Shahih Sunan Abu Dawud: 631.
[5]
Shahih Sunan Ibnu Majah: 824, Shahih Sunan Abu Dawud: 575, Shahih Sunan
an-Nasa’iy: 792 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 500.
[6] Shahih Sunan Abu Dawud: 628.
[7]
Mukhtashor Shahih Muslim: 267, Shahih Sunan Abu Dawud: 626, Shahih
Sunan an-Nasa’iy: 777, Shahih Sunan Ibnu Majah: 796, Shahih al-Jami’
ash-Shahih: 961 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 511.
[8] Bahjah an-Nazhirin: II/ 283.
[9] Shahih Sunan at-Turmudziy: 189, Shahih Sunan Abu Dawud: 627 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5476.
[10] Al-Qoul al-Mubin halaman 220, Syar-h an-Nawawiy ala Shahih Muslim: II/ 155 dan Ma’alim as-Sunan: I/ 184-185.
[11]
Mukhtashor Shahih Muslim: 269, Shahih Sunan Abu Dawud: 629, Shahih
Sunan at-Turmudziy: 186, Shahih Sunan Ibnu Majah: 819, Shahih Sunan
an-Nasa’iy: 790, Shahih al-Jami ash-Shaghir: 3310 dan Shahih at-Targhib
wa at-Tarhib: 488.
[12] Bahjah an-Nazhirin: II/ 282.
[13] Shahih Ibnu Majah: 820.
[14] Al-Qoul al-Mubin halaman 218.
[15] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 776 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 193.
[16] Fat-h al-Bariy: II/ 190.
[17] Muwaththa’ Imam Malik: 32. Lihat Fat-h al-Bariy: II/ 191 dan al-Qoul al-Mubin halaman 215.
[18] Mushannaf ‘Abdurrozzaq: 3870. Lihat Fat-h al-Bariy: II/ 191 dan al-Qoul al-Mubin halaman 216.
[19] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 774.
[20] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 775.
[21] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 771, Shahih Sunan at-Turmudziy: 194 dan Shahih Sunan Abu Dawud: 572.
[22] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 773 dan Shahih Sunan Abu Dawud: 569.
[23]
Mukhtashor Shahih Muslim: 269, Shahih Sunan Abu Dawud: 629, Shahih
Sunan at-Turmudziy: 186, Shahih Sunan Ibnu Majah: 819, Shahih Sunan
an-Nasa’iy: 790, Shahih al-Jami ash-Shaghir: 3310 dan Shahih at-Targhib
wa at-Tarhib: 488.
[24] Lihat Tamam al-Minnah fi at-Ta’liq ala Fiq-h as-Sunnah halaman 154.
[25] Tamam al-Minnah halaman 154.
[26] Shahih Sunan Abu Dawud: 553.
[27] Shahih Sunan Ibnu Majah: 822, Shahih Sunan at-turmudziy: 191 dan Irwa al-Ghalil: II/ 328.
[28] Shahih Sunan Ibnu Majah: 823, Shahih Sunan at-Turmudziy: 191, 192 dan Shahih Sunan Abu Dawud: 633.