Senin, 09 Mei 2016

Posisi imam dan makmum kaum wanita jika sholat berjamaah

PERHATIKAN POSISI SHAFF ANDA DENGAN BENAR !!!

POSISI SHAFF DI DALAM SHOLAT
بسم الله الرحمن الرحيم
Shaff21). Mengisi Shaff pertama
Dari al-Barra bin Azib radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
      إِنَّ اللهَ وَ مَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصُّفُوْفِ اْلأَوَّلِ
            “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya mengucapkan sholawat kepada shaff pertama”. [HR Abu Dawud: 664, an-Nasa’iy: II/ 89-90, Ibnu Majah: 997, 999 dan al-Hakim: 2146, 2156, 2173. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]
Dari Jabir bin Samurah radliyallahu anhuma berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami lalu bersabda,
      أَلَا تَصُفُّوْنَ كَمَا تَصُفُّ اْلمـَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا ؟ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ كَيْفَ تَصُفُّ اْلمـَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا ؟ قَالَ: يُتِمُّوْنَ الصُّفُوْفَ اْلأَوَّلِ وَ يَتَرَاصُّوْنَ فِى الصَّفِّ
            “Tidakkah kalian bershaff (berbaris) sebagaimana bershaffnya para malaikat di sisi Rabb mereka?”. Kami bertanya, “Wahai Rosulullah bagaimana caranya para malaikat itu bershaff di sisi Rabb mereka?”. Beliau menjawab, “Yaitu mereka menyempurnakan shaff-shaff pertama dan rapat di dalam shaff”. [HR Muslim: 430 dan Abu Dawud: 661. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
            لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَ الصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوْا عَلَيْهِ
            “Seandainya manusia mengetahui apa yang terdapat di dalam (mengumandangkan) adzan dan shaff pertama, lalu mereka tidak menjumpai kecuali mereka harus mengundinya niscaya mereka akan mengundinya”. [HR al-Bukhoriy: 615, 653, 721, 2829, 5733  dan Muslim: 437]. [3]
Dari Abu Said Al-Khudriy bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melihat para sahabatnya terlambat, maka beliau bersabda kepada mereka,
تَقَدَّمُوا فَأْتَمُّوا بِي وَلْيَأْتَمَّ بِكُمْ مَنْ بَعْدَكُمْ لَا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمُ اللَّهُ
“Kalian majulah ke depan dan bermakmumlah di belakangku, dan hendaklah orang yang datang setelah kalian bermakmum di belakang kalian. Senantiasa suatu kaum itu membiasakan diri terlambat mendatangi shalat, hingga Allah juga menunda (memberikan rahmat-Nya kepada) mereka”. [HR. Muslim: 438 dan Abu Dawud: 680. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]
Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk memenuhi shaff yang pertama dan terdepan terlebih dahulu lalu yang selanjutnya.
Bahkan dianjurkan untuk mengisi shaff yang berada di sebelah kanan imam, karena dahulu para shahabat radliyallahu anhum sangat menyukai jika mereka berdiri di shaff yang terdepan dan di sebelah kanan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits berikut,
Dari al-Barra’ bin Azib berkata,
‏ُكُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ ‏صلى الله عليه وسلم ‏أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ قَالَ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ ‏رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ ‏‏أَوْ تَجْمَعُ ‏‏عِبَادَكَ ‏
 “Kami apabila sholat di belakang Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kami ingin berdiri di sebelah kanannya yang Beliau menghadapkan wajahnya kepada kami”. Berkata al-Barra’, Aku mendengar beliau berdoa, “Ya Allah jauhkanlah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan atau mengumpulkan hamba-hambaMu”. [Atsar riwayat Muslim: 709, Ibnu Majah: 1006, an-Nasa’iy: II/ 94 dan Abu Dawud: 615. Dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy]. [5]
Dari Aisyah berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوفِ
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat ke atas orang-orang yang berada di shaff sebelah kanan.” [HR Abu Dawud: 676. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [6]
2). Yang berhak di belakang Imam.
Ketika ikomat dikumandangkan, maka seluruh jamaah sholat hendaknya mempersiapkan diri dengan berdiri di belakang tempat berdirinya imam dengan membentuk barisan dengan merapatkan dan meluruskan shaff.
Hendaknya yang di belakang imam langsung itu adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian dan akal dari kalangan ahli ilmu, hafal banyak ayat dari Alqur’an dan fasih dalam membacanya, memahami aturan sholat yang sesuai syar’iy dan sebagainya. Hal ini disebabkan,
a). Bentuk penghormatan bagi orang yang memiliki ilmu Alqur’an dan sunnah.
b). Dapat mengingatkan imam jika terjadi kesalahan bacaan ayat atau kekeliruan gerakan sholat dari imam tersebut.
c). Dapat mengganti posisi imam, jika imam batal sholatnya karena suatu sebab.
Dari Abu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam meluruskan pundak-pundak kami ketika hendak mengerjakan sholat (secara berjamaah) dan bersabda,
اسْتَوُوْا وَ لاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ لِيَلِنِى مِنْكُمْ أَوْلُو اْلأَحْلَامِ وَ النُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Luruskan (shaff-shaff kalian) dan janganlah berselisih yang akan menyebabkan hati-hati kalian juga berselisih. Hendaklah yang dekat denganku di antara kalian adalah orang-orang yang memiliki  kepintaran dan akal. Lalu orang-orang berikutnya kemudian orang-orang berikutnya”. [HR Muslim: 432 (122), Abu Dawud: 674, an-Nasa’iy: II/ 87, 88, 90, Ibnu Majah: 976 dan Ahmad: IV/ 122. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[7]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Dianjurkan setelah imam itu (shaffnya) para hafizh (penghafal Alqur’an) dan orang yang memahami Alqur’an dan sunnah kemudian selain mereka. Terdapat penjelasan akan keutamaan ilmu tentang Alqur’an dan sunnah Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Karena hal tersebut menjadi penyebab didahulukannya mereka atas selain mereka (dalam banyak hal)”. [8]
Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
لِيَلِنِى مِنْكُمْ أُوْلُوا اْلأَحْلَامِ وَ النُّهَى ثُمَّ يَلُوْنَهُمْ (ثلاثا) وَ إِيَّاكُمْ وَ هَيْشَاتِ اْلأَسْوَاقِ
Hendaklah yang dekat denganku di antara kalian adalah orang-orang yang memiliki akal dan kepintaran, lalu orang-orang berikutnya (tiga kali). Dan jauhilah membuat kebisingan seperti di pasar”. [HR Muslim: 432 (123), Abu Dawud: 675, at-Turmudziy: 228 dan Ahmad: I/ 457. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]
Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat dalil dalam mendahulukan orang paling utama lalu selanjutnya di belakang imam. Karena mereka itu orang yang paling utama untuk dimuliakan. Boleh jadi mereka juga orang yang dibutuhkan oleh imam untuk menggantikannya (jika batal), maka hal ini tentu lebih utama. Penyebab lainnya adalah karena untuk mengingatkan imam apabila lupa (keliru), sedangkan selain mereka tidak dapat melakukan hal tersebut”. [10]
3). Shaff pria dan wanita.
Jika di dalam shaff sholat berjamaah terdapat banyak kaum laki-laki dan wanita, maka posisi shaff laki-laki adalah di depan bahkan yang terbaik bagi mereka adalah yang paling depan dan yang paling jelek adalah yang paling belakang. Sedangkan shaff para wanita adalah di belakang bahkan shaff yang terbaik bagi mereka adalah yang paling belakang dari shaff sedangkan yang paling buruk adalah yang paling depan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata, Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaff kaum laki-laki adalah yang paling awal, dan sejelek-jeleknya adalah paling terakhir. Dan sebaik-baik shaff wanita adalah paling terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah yang paling awal”. [HR. Muslim: 440, Abu Dawud: 678, an-Nasa’iy: II/ 93, at-Turmudziy: 224, Ibnu Majah: 1000 dan Ahmad: II/ 247. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Dianjurkan bagi kaum lelaki untuk bersegera datang ke masjid agar mereka mendapatkan keutamaan pahala mendahului (datang ke masjid) dan memperoleh shaff yang pertama. Sedangkan kaum wanita dianjurkan untuk mengakhirkan kehadirannya ke masjid agar memperoleh keutamaan shaff yang paling akhir”.  [12]
Dari Jabir bin Abdullah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ مُقَدَّمُهَا وَشَرُّهَا مُؤُخِّرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ مُؤُخِّرُهَا وَشَرُّهَا مُقَدَّمُهَا
“Sebaik-baik shaff kaum laki-laki adalah di depan, dan sejelek-jeleknya adalah paling belakang. Dan sebaik-baik shaff wanita adalah paling belakang, dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan”. [HR Ibnu Majah: 1001. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [13]
Berkata asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhohullah, “Yang dimaksud dengan seburuk-buruk shaff pada kaum lelaki dan wanita adalah yang paling sedikit pahala dan keutamaannya dan yang paling jauh dari tuntutan syariat. Sedangkan yang dimaksud sebaik-baiknya adalah kebalikannya”. [14]
4). Beberapa posisi imam dan makmum di dalam sholat.
Untuk lebih mudah dipahami akan dijelaskan secara ringkas disini beberapa posisi shaff yang dapat terjadi dalam keseharian kaum muslimin ketika hendak mengerjakan sholat.
a). Apabila makmum seorang pria saja.
Dari Jabir berkata,
كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فِى سَفِرٍ فَانْتَهَيْنَا إِلَى مَشْرَعَةٍ فَقَالَ: أَلَا تُشْرِعُ يَا جَابِرُ؟ قُلْتُ: بَلَى قَالَ فَنَزَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ أَشْرَعْتُ قَالَ ثُمَّ ذَهَبَ لِحَاجَتِهِ وَ وَضَعْتُ لَهُ وَضُوْءًا قَالَ فَجَاءَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ خَالَفَ بَيْنَ طَرَفَيْهِ فَقُمْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِى فَجَعَلَنِى عَنْ يَمِيْنِهِ
“Saya pernah bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam suatu perjalanan. Lalu kami sampai di sebuah jalan di pinggir sungai. Beliau bersabda, “Jangan engkau memulainya wahai Jabir”?. Aku berkata, “Ya”. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallampun singgah dan akupun memulainya. Kemudian Beliau pergi untuk menunaikan hajatnya dan akupun menyediakan air wudlu untuknya. Lalu Beliaupun datang dan berwudlu, kemudian sholat dengan mengenakan satu kain yang diselempangkan antara dua ujungnya. Dan akupun berdiri di belakangnya lalu Beliau memegang telingaku dan meletakkanku di sebelah kanannya. [HR Muslim: 766].
Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma dia berkata,
بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ قَالَ خَطِيطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
“Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi shalat ‘isya kemudian kembali ke rumah dan shalat sunnat empat rakaat, kemudian beliau tidur. Saat tengah malam beliau bangun dan shalat malam, aku lalu datang untuk ikut shalat bersama beliau dan berdiri di samping kiri beliau. Kemudian beliau menggeserku ke sebelah kanannya, lalu beliau shalat lima rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian tidur hingga aku mendengar suara dengkur beliau. Setelah itu beliau kemudian keluar untuk shalat (shubuh)”. [HR. al-Bukhari: 117, 138, 183, 697, 698, 699, 726, 728, 859, 5919, 6316, an-Nasa’iy: II/ 87 dan at-Turmudziy: 233. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]
Imam al-Bukhariy rahimahullah memberikan judul bab terhadap hadits di atas,
بَابُ: يَقُوْمُ عَنْ يَمِيْنِ الإمامِ بِحِذائِهِ سَواء إِذا كانا اثْنَيْنِ
“Bab, (makmum) berdiri sejajar tepat di samping kanan imam jika mereka hanya sholat berdua”. [16]
Kemudian dalam Kitab Fat-h al-Bariy Syar-h Shahih al-Bukhariy, al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy rahimahullah (wafat tahun 852H) menguatkan apa yang ditegaskan oleh Imam al-Bukhariy tersebut dengan beberapa atsar shahabat dan tabi’in. Di antaranya adalah sebagaimana berikut,
Dari Abdullah bin Utbah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
دَخَلْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِالْهَاجِرَةِ فَوَجَدْتُهُ يُسَبِّحُ، فَقُمْتُ وَرَاءَهُ فَقَرَّبَنِي حَتَّى جَعَلَنِي حِذَاءَهُ عَنْ يَمِينِهِ
“Aku pergi masuk mengunjungi Umar bin al-Khaththab pada waktu siang. Aku dapati beliau sedang sholat sunnah. Maka aku pun berdiri di belakangnya (sebagai makmum). Lalu beliau menarikku ke arahnya dan menempatkanku sejajar di sisi kanannya”. [17]
Ibnu Juraij berkata,
قُلْتُ لِعَطَاءٍ الرَّجُلُ يُصَلِّي مَعَ الرَّجُلِ أَيْنَ يَكُوْنُ مِنْهُ؟ قَالَ إِلَى شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ قُلْتُ أَيُحَاذِى بِهِ حَتَّى يَصِفَّ مَعَهُ لَا يَفُوْتُ أَحَدُهُمَا اْلآخَرَ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ أَتُحِبُّ أَنْ يُسَاوِيَهُ حَتَّى لَا تَكُوْنَ بَيْنَهُمَا فُرْجَةٌ قَالَ نَعَمْ
“Aku bertanya kepada Atha’, “jika seorang lelaki solat bersama seorang lelaki, maka di mana ia perlu berdiri?” Jawab Atha’, “Di sisi kanannya.” Aku bertanya lagi, “Adakah ia berdiri sejajar dengan imam sehingga posisi mereka seperti satu shaff, salah seorang dari keduanya tidak maju?”. Atha’ menjawab, “Benar.” Aku bertanya lagi, “Adakah engkau suka kalau ia berdiri rapat sehingga tidak ada lagi celah di antara keduanya?”. Atha’ menjawab, “Ya”. [18]
Dua hadits dan beberapa astar di atas menjelaskan bahwa jika ada dua orang hendak sholat, maka posisinya adalah makmum berada di sebelah kanan imam bukan di belakangnya sebagaimana yang biasa dilakukan oleh masyarakat awam. Biasanya kaum awam jika terjadi hal seperti ini, akan tetap mengerjakan sholat, imam di depan sedangkan makmumnya tepat di belakangnya. Atau juga makmumnya di belakang sebelah kanan imam dan terkadang makmumnya maju sedikit dekat dengan imam namun tidak sejajar dengannya.
Padahal jika terjadi seorang imam mempunyai seorang makmum lelaki saja maka letak makmum itu di sebelah kanan tepat di sampingnya tidak mundur sedikitpun dengan menempelkan mata kaki dan bahu keduanya.
Dan jika sedang terjadi sholat yang terdiri dari seorang imam dan seorang makmum yang berdiri sejajar, lalu datang lagi seorang makmum pria maka imam berhak untuk mendorong makmum yang di sebelah kanannya untuk disejajarkan dengan makmum yang baru datang di belakangnya.
Hal ini didasarkan pada hadits Jabir yang panjang, yang sebagiannya berbunyi,
 ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ
“Kemudian aku datang sampai berdiri di sebelah kiri Rosulullah, lalu beliau memegang tanganku dan menarikku hingga membuatku berdiri di sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, lalu Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangan kami berdua dan mendorong kami hingga membuat kami berdiri di belakang beliau”. [HR Muslim: 3010].
b). Posisi Imam, seorang makmum pria dan seorang makmum wanita.
Lalu jika terdapat makmum seorang lelaki dan seorang wanita, maka posisinya adalah letak makmum di sebelah kanan sejajar dengan imam dan letak wanita dibelakang mereka berdua.
Dari Abdullah bin Abbas radliyallahu anhuma berkata,
      صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَ عَائِشَةُ خَلْفَنَا تُصَلِّى مَعَنَا وَ أَنَا إِلَى جَنْبِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أُصَلِّى مَعَهُ
            “Aku sholat di sisi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan Aisyah di belakang kami sholat bersama kami. Sedangkan aku di samping Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sholat bersamanya”. [HR an-Nasa’iy: II/ 86 dan Ahmad: I/ 304. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]
Dari Anas radliyallahu anhu berkata,
      صَلَّى بِى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ بِامْرَأَةِ مِنْ أَهْلِى فَأَقَامَنِى عِنْ يَمِيْنِهِ وَ اْلمـَرْأَةُ خَلْفَنَا
           “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah sholat bersamaku dan seorang wanita dari keluargaku. Beliau menempatkan aku di sebelah kanannya dan wanita itu di belakang kami”. [HR an-Nasa’iy: II/ 86-87 dan Muslim: 660. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]
c). Posisi Imam, dua orang makmum pria dan seorang wanita.
Lalu jika ada dua orang makmum lelaki dan seorang makmum wanita, maka letak posisi makmum lelaki adalah di belakang imam sedangkan letak makmun wanita berada di belakang makmum lelaki.
Dari Anas radliyallahu anhu berkata,
 صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
“Aku sholat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami” [HR al-Bukhoriy: 727, Muslim: 658, Abu Dawud: 612, at-Turmudziy: 234 dan an-Nasa’iy: II/ 85-86. Berkata asy-Syaikh al-Baniy: Shahih]. [21]
d). Posisi Imam, seorang makmum pria dan makmum dua wanita.
Apabila imam memiliki seorang makmum lelaki dan dua orang wanita, maka letak makmum pria berada di sebelahkan sejajar dengannya sebagaimana telah dijelaskan. Sedangkan letak kedua makmum wanitanya tetap berada di belakang imam dan makmum lelaki.
Dari Anas,
 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ أَوْ خَالَتِهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا
“Sesungguhnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam solat dengannya dan ibunya atau bibinya. Anas berkata, “Lalu Rosulullah meletakkanku berdiri di sebelah kanannya dan wanita di belakang kami.” [HR Muslim: 660 (269), an-Nasa’iy: II/ 86, Abu Dawud: 609 dan Ahmad: III/ 258. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [22]
e).Posisi imam dan makmum lebih dari dua orang.
Sedangkan jika imam mempunyai banyak makmum dari golongan lelaki dan wanita, maka posisi mereka sebagaimana telah dijelaskan oleh keumuman dalil-dalil yang telah lalu.
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dia berkata, Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaff kaum laki-laki adalah yang paling awal, dan sejelek-jeleknya adalah paling terakhir. Dan sebaik-baik shaff wanita adalah paling terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah yang paling awal”. [HR. Muslim: 440, Abu Dawud: 678, an-Nasa’iy: II/ 93, at-Turmudziy: 224, Ibnu Majah: 1000 dan Ahmad: II/ 247. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [23]
Dari Jabir radliyallahu anhu di dalam hadits yang panjang, di antaranya,
ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ
“Kemudian aku datang sampai berdiri di sebelah kiri Rosulullah, lalu beliau memegang tanganku dan menarikku hingga membuatku berdiri di sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memegang tangan kami berdua dan mendorong kami hingga membuat kami berdiri di belakang beliau”. [HR Muslim: 3010].
f). Posisi Imam dan makmumnya para wanita.
Lalu apabila kaum wanita hendak mengerjakan sholat berjamaah, sedangkan tidak ada imam lelaki maka posisinya adalah mereka membentuk shaff yang lurus dan rapat dengan menempelkan kaki dengan kaki dan bahu dengan bahu di antara mereka dan letak imam mereka ada di tengah-tengah mereka di shaff terdepan.
Hal ini pernah dilakukan dan dicontohkan oleh beberapa sahabat wanita seperti Ummu Salamah, Aisyah dan Ummu Waraqah radliyallahu anhunna.
Dari Raithoh al-Hanafiyah,
أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَقَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِي صَلَاةٍ مَكْتُوْبَةٍ
“Bahwasanya Aisyah dahulu pernah mengimami para wanita di dalam sholat wajib dan beliau berdiri (sejajar) ditengah-tengah mereka”. [HR. ‘Abdurrazaq, ad-Daruquthniy, al-Hakim dan al-Baihaqi].
Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Namun hadits ini dilemahkan/ didla’ifkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy, namun dia memiliki penguat dari hadits Hujairoh binti Hushain. Begitu juga hal yang sama dilakukan oleh Ummu Salamah.[24]
Dari Hujairoh binti Husain, dia mengatakan,
أَمَّتْنَا أُمُّ سَلَمَةَ فِي صَلَاةِ اْلعَصْرِ قَامَتْ بَيْنَنَا
“Ummu Salamah pernah mengimami kami (para wanita) ketika sholat Ashar dan beliau berdiri di tengah-tengah kami”. [HR Abdurrazaq, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqiy. Riwayat ini memiliki penguat dari riwayat lainnya dari jalur Qotadah dari Ummul Hasan].
Dari Qotadah dari Ummu al-Hasan bahwasanya ia pernah melihat Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengimami para wanita dan ia berdiri bersama mereka di dalam shaff mereka. [HR Ibnu Abi Syaibah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: atsar ini sanadnya shahih].[25]
Ada pula ulama yang menganjurkan shalat jama’ah bagi wanita dengan sesama mereka berdasarkan hadits dalam riwayat Abu Dawud dalam Bab “Wanita sebagai imam”,
Dari Ummu Waraqah binti Abdullah bin al-Harits berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَزُورُهَا فِى بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا. قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيرًا.
“Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya. Dan beliau menjadikan untuknya seseorang untuk mengumandangkan adzan. Lalu beliau memerintah Ummu Waraqah untuk mengimami para wanita di rumah tersebut”. [HR Abu Dawud: 592. Berkata Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [26]
Abdurrahman bin Kholad mengatakan bahwa yang mengumandangkan adzan tersebut adalah seorang pria tua.

5). Hukum sholat sendirian di belakang imam.
Banyak terjadi di kalangan kaum muslimin yang mengerjakan sholat dengan menempatkan posisi shaff sendirian di belakang shaff padahal shaff-shaff yang di depannya masih ada yang kosong. Bahkan juga banyak ditemui beberapa dari kaum muslimin yang mengambil tempat sholat jauh dari shaff-shaff yang ada, yaitu mereka berdiri di sebelah kanan atau kiri atau bahkan di belakang sendirian dan menjauh dari shaff-shaff yang ada. Perilaku ini dikarenakan kejahilan mereka dan jauhnya mereka dari pengajaran alqur’an dan sunnah. Dan perbuatan ini jelas tidak dibenarkan dan wajib bagi yang melakukan ini untuk mengulang kembali sholatnya karena tidak ada sholat bagi orang yang sholat di belakang sendirian.
Dari Ali bin Syaiban (dan ia termasuk dari utusan) berkata, kami pernah keluar sehingga mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu kami berbaiat (berjanji setia) kepadanya dan sholat di belakangnya. Kemudian kami sholat dengan sholat yang lain di belakangnya. Lalu Beliau menyelesaikan sholatnya dan melihat seorang pria sholat sendirian di belakang shaff. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berdiri di dekatnya, ketika ia selesai sholat, Beliau bersabda,
اسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ لَا صَلَاةَ لِلَّذِى خَلْفَ الصَّفِّ
“Ulangilah sholatmu, karena tidak ada sholat bagi orang yang di belakang shaff (sendirian)”. [HR Ibnu Majah: 1003, at-Turmudziy: 230 dan Ahmad: IV/ 23, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]
Dari Hilal bin Yasaf berkata, Ziyad bin Abu al-Ja’d pernah menarik tanganku dan meletakkanku di dekat seorang syaikh di Roqqoh yang di kenal dengan nama Wabishoh bin Ma’bad. Lalu ia berkata,
أَنَّ رَجُلًا صَلَّى خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنْ يُعِيْدَ الصَّلَاةَ
“Pernah ada seorang pria sholat di belakang shaff sendirian lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengulangi (sholatnya)”. [HR Ibnu Majah: 1004, at-Turmudziy: 230, 231 dan Abu Dawud: 682. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]
Demikian beberapa penjelasan tentang posisi shaff di dalam sholat yang merupakan salah satu dari sunnah-sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang banyak diabaikan dan dianggap remeh oleh sebahagian besar kaum muslimin.
Mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat untukku, keluargaku dan seluruh kaum muslimin agar semakin menyempurnakan ibadah sholat mereka dan mendapatkan balasan pahala yang terbaik kelak di hari kiamat, dimana pada hari itu tidak akan berguana lagi harta benda ataupun pangkat derajat.
Wallahu a’lam bish Showab.

[1] Shahih Sunan Abu Dawud: 618, Shahih Sunan Ibnu Majah: 816, 818, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 781, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1842, Misykah al-Mashobih: 1101, dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 507, 513.
[2] Shahih Sunan Abu Dawud: 615, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 496.
.[3] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 487.
[4] Shahih Sunan Abu Dawud: 631.
[5] Shahih Sunan Ibnu Majah: 824, Shahih Sunan Abu Dawud: 575, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 792 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 500.
[6] Shahih Sunan Abu Dawud: 628.
[7] Mukhtashor Shahih Muslim: 267, Shahih Sunan Abu Dawud: 626, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 777, Shahih Sunan Ibnu Majah: 796, Shahih al-Jami’ ash-Shahih: 961 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 511.
[8] Bahjah an-Nazhirin: II/ 283.
[9] Shahih Sunan at-Turmudziy: 189, Shahih Sunan Abu Dawud: 627 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5476.
[10] Al-Qoul al-Mubin halaman 220, Syar-h an-Nawawiy ala Shahih Muslim: II/ 155 dan Ma’alim as-Sunan: I/ 184-185.
[11] Mukhtashor Shahih Muslim: 269, Shahih Sunan Abu Dawud: 629, Shahih Sunan at-Turmudziy: 186, Shahih Sunan Ibnu Majah: 819, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 790, Shahih al-Jami ash-Shaghir: 3310 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 488.
[12] Bahjah an-Nazhirin: II/ 282.
[13] Shahih Ibnu Majah: 820.
[14] Al-Qoul al-Mubin halaman 218.
[15] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 776 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 193.
[16] Fat-h al-Bariy: II/ 190.
[17] Muwaththa’ Imam Malik: 32. Lihat Fat-h al-Bariy: II/ 191 dan al-Qoul al-Mubin halaman 215.
[18] Mushannaf ‘Abdurrozzaq: 3870. Lihat Fat-h al-Bariy: II/ 191 dan al-Qoul al-Mubin halaman 216.
[19] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 774.
[20] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 775.
[21] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 771, Shahih Sunan at-Turmudziy: 194 dan Shahih Sunan Abu Dawud: 572.
[22] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 773 dan Shahih Sunan Abu Dawud: 569.
[23] Mukhtashor Shahih Muslim: 269, Shahih Sunan Abu Dawud: 629, Shahih Sunan at-Turmudziy: 186, Shahih Sunan Ibnu Majah: 819, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 790, Shahih al-Jami ash-Shaghir: 3310 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 488.
[24] Lihat Tamam al-Minnah fi at-Ta’liq ala Fiq-h as-Sunnah halaman 154.
[25] Tamam al-Minnah halaman 154.
[26] Shahih Sunan Abu Dawud: 553.
[27] Shahih Sunan Ibnu Majah: 822, Shahih Sunan at-turmudziy: 191 dan Irwa al-Ghalil: II/ 328.
[28] Shahih Sunan Ibnu Majah: 823, Shahih Sunan at-Turmudziy: 191, 192 dan Shahih Sunan Abu Dawud: 633.


 

Selasa, 03 Mei 2016

Peran Muslimah Dalam Kebangkitan Islam


Dunia itu adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah. (HR Muslim)

Indikasi suatu orang, kelompok atau bangsa dikatakan bangkit adalah jika ia bisa menyelesaikan permasalahan hidupnya sendiri dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada disekitarnya dan posisi orang, kelompok atau bangsa tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Indikasi kebangkitan bukanlah banyaknya materi, tingginya tingkat pendidikan dan kesejahteraan, karena itu adalah hasil daripada kebangkitan. Dikatakan hasil daripada kebangkitan karena hal-hal yang disebutkan diatas adalah buah dari proses berfikir yang diwujudkan dalam suatu aktivitas.  Sehingga kebangkitan itu sendiri bisa diartikan dengan peningkatan taraf berfikir.
Tingkat taraf berfikir seorang manusia akan menentukan caranya dalam memecahkan permasalahan yang dialaminya didalam hidup. Tingkatan taraf berfikir ini dapat terlihat jelas ketika kita mengamati perbedaan cara hidup manusia di abad lampau dibandingkan dengan manusia abad modern. Dan selama manusia, kelompok atau bangsa tidak mempunyai cara berfikir khas yang dapat memecahkan seluruh permasalahan hidupnya, maka ia tidak bisa dikatakan bangkit. Walaupun harta yang ia miliki berlimpah, tingkat pendidikannya tinggi dan kesejahteraan hidupnya tinggi.
Dan Islam, sebagai sebuah pandangan hidup sekaligus cara berfikir yang khas, telah menyediakan semua solusi untuk berbagai permasalahan yang ada pada manusia untuk seluruh zaman dan pada semua tempat. Dengan kata lain, jika Islam diterapkan secara sempurna, maka pastinya kaum muslim meningkat taraf berfikirnya dan akan mampu memecahkan segala permasalahan hidupnya. Dan Islam diturunkan untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya serta dirinya sendiri.
Sebagai makhluk ciptaan Allah swt., dalam beberapa hal pria dan wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama. Misalnya mereka sama-sama wajib memenuhi ibadah kepada Allah swt., sama-sama wajib untuk mencintai Allah dan rasul-Nya lebih daripada yang lainnya serta sama-sama wajib dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka sama-sama berhak mendapatkan surga, sama-sama berhak untuk didengarkan pendapatnya dan yang lainnya. Selain memberikan hak dan kewajiban yang sama, Allah juga memberikan keistimewaan kepada masing-masing pria dan wanita dalam rangka mengabdi kepada-Nya dalam kehidupan dunia. Allah menciptakan keistimewaan ini bukanlah untuk menjadi alasan yang satu untuk meremehkan yang lain, tetapi supaya satu sama lain saling melengkapi dan menyadari bahwa mereka tak bisa hidup secara normal tanpa kehadiran yang lainnya. Untuk menyadari ayat Allah.
Pria dan wanita memang diciptakan berbeda. Diketahui akhir-akhir ini, otak pria dan wanita  adalah rancangan sempurna dengan keunikan masing-masing. Misalnya dalam kasus pria, otak kiri mereka berkembang lebih baik daripada otak kanan mereka. Lain pada wanita, otak kanan dan kiri mereka berkembang hapir sama baiknya, walaupun pertumbuhan otak kanan wanita tidak sebaik pria. Inilah yang menyebabkan banyak fenomena yang terjadi disekeliling kita yang terasa begitu aneh. Ini menjelaskan kenapa pria berbakat memarkir mundur kendaraan sedangkan wanita tidak, menjelaskan kenapa pria selalu mendapatkan nilai yang baik pada logika matematika, menjelaskan kenapa pria hanya bisa melakukan suatu hal pada suatu waktu sedangkan wanita bisa lebih. Dan ini juga menjelaskan mengapa wanita lebih telaten daripada pria, menjelaskan mengapa wanita lebih tajam instingnya daripada pria. Semua itu karena pria dan wanita berbeda. Ini sunatullah. Oleh karena itu pandangan para feminisme yang ingin menyamakan pria dan wanita dalam semua hal adalah pandangan yang utopis, karena tidak sesuai dengan fakta. Kasarnya, tidak masuka akal, tambahan lagi, pandangan ini diawali dari cara berfikir yang sama sekali salah.
Kesalahan berfikir utama para feminis adalah mereka menjadikan tolak ukur keberhasilan dan kesuksesan bagi pria sebagai tolak ukur keberhasilan dan kesuksesan bagi wanita. Misalnya, para feminis mengatakan seseorang wanita bisa dikatakan berhasil dan sukses jika mereka bisa menghasilkan uang, mempunyai kedudukan tinggi, mempunyai posisi yang tinggi, kuat secara fisik, dan lain-lain. Mereka lupa jika memang pria dan wanita berbeda. Dan hal ini lah yang tidak boleh diulangi oleh kaum muslim dan muslimah dalam menyongsong kebangkitan.
Seperti yang telah kita ketahui, Allah swt telah melebihkan pria atas wanita dalam sal-hal tertentu, dan melebihkan wanita atas pria dalam hal-hal tertentu pula. Dan hal yang paling baik dilakukan oleh muslimah dalam rangka menyongsong kebangkitan aadalah dengan berusaha mengembangkan dan mempertajam keahlian mereka dalam hal-hal yang memang telah dilebihkan Allah atas mereka, tanpa mengabaikan kewajiban-kewajiban mereka yang lain. Saya ambil contoh dalam hal politik praktis. Dalam masalah ini umumnya pria lebih baik melakukannya ketimbang wanita, why? because men designed for it, walaupun wanita tentu harus mengerti politik praktis. Dalam kasus mengurus anak dan rumah tangga, umumnya wanita selalu lebih baik daripada pria, dan lebih suka melakukannya, why? because women designed for it, walaupun pria tentu harus mengerti pula cara mengurus anak dan rumah tangga.

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(TQS an-Nisaa’ [4]:32)
Nah, berdasarkan hal itu, maka sebagai seorang wanita muslim, yang benar-benar menginginkan kebangkitan Islam, maka ada Allah telah memberikan tempat dimana mereka bisa berperan dalam menyongsong kebangkitan Islam.
1.    Menjadi panutan bagi kaum dan lingkungan tempat tinggalnya
Dalam hidupnya, wanita juga wajib berda’wah dan menyerukan Islam di komunitas dimana ia berada, da’wah dalam artian ini adalah mengajak orang agar cenderung kepada Islam. Tetapi yang perlu digarisbawahi disini adalah pengkhususan da’wah wanita. Seorang wanita mempunyai keistimewaan penyampaian ”hati ke hati”, seorang wanita harus menjalankan peran pengemban da’wahnya lebih kepada masalah-masalah yang disitu melibatkan kaumnya. Ia mestilah lebih faham dalam hal-hal kewanitaan, walaupun tidak mengabaikan hal-hal yang lain. Selain itu seorang wanita mestilah menjadi contoh di lingkungan tempat ia berada, tidak eksklusif, berusaha memahami masyarakat tempat ia tinggal, berbaur dan melebur dengannya, tanpa mengorbankan hal prinsipal yang ia anut.
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
(TQS an-Nahl [16]:125)
2.    Menjadi shahabat bagi suaminya
Banyak sekali hadits yang mengabarkan tentang pentingnya peran wanita dalam rumah tangga, khususnya perannya menjadi shahabat bagi suaminya. Hal ini berarti bahwa wanita yang telah dan akan menjadi istri sangatlah besar pengaruhnya pada aktivitas sang suami. Kita bisa melihat banyak sekali shahabat dan tokoh-tokoh besar, mereka pastilah memiliki pasangan hidup yang luar biasa. Nabi Muhammad juga memiliki pendukung yang sangat luar biasa. Dengan kata lain, walaupun secara tidak langsung, peran wanita dalam mengingatkan, melayani, dan menemani suaminya sangat besar sekali sumbangsihnya dalam kebangkitan Islam dan kaum muslimin. Bayangkan, bagaimana bisa seorang suami, yang nyata-nyata punya peran strategis di dalam da’wah menuju kebangkitan akan luar biasa pada da’wahnya seandainya ia tidak menemukan ketenangan pada istrinya.
Ingatlah, aku telah memberitahu kalian tentang istri-istri kalian yang akan menjadi penduduk surga, yaitu yang penyayang, banyak anak, dan banyak memberikan manfaat kepada suaminya; yang jika ia menyakiti suaminya atau disakiti, ia akan segera datang hingga berada di pelukan suaminya, kemudian berkata,
”Demi Allah, aku tidak bisa memejamkan mata hingga engkau meridhaiku”

(HR Baihaqi)
Ada seorang wanita yang pernah meminta izin kepada Nabi saw. untuk turut serta berjihad. Ia berkata,

 ”Wahai rasulullah, aku diutus oleh kaum wanita untuk menghadap kepadamu, sebagai wakil mereka dalam berjihad, yang telah ditetapkan oleh Allah kepada kaum laki-laki. Apabila mereka menang (dalam jihad), mereka akan beroleh pahala (ganjaran); jika mereka gugur, mereka akan mendapatkan kemuliaan disisi Allah. Sementara itu, kami adalah kaum wanita.
Apabila kami membantu kaum laki-laki (dalam berjihad), apakah kami akan beroleh pahala?”
Nabi saw. menjawab, ”Sampaikanlah salamku kepada kaum wanita yang mengutusmu. Menaati suami dan menjalankan semua perintahnya adalah sama pahalanya dengan orang yang berjihad. Sayangnya mereka banyak yang tidak menjalankan hal ini.”
(HR al-Bazzar)
3.    Menjadi teman bagi anak-anaknya.
Kata-kata ”wanita adalah tiang suatu negara” tampaknya bukanlah sesuatu yang berlebihan, bahkan saya katakan ”wanita adalah tiang peradaban”. banyak sekali hadits yang mengabarkan keutamaan wanita. Ini bisa dilihat pada fungsi seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya. Anak adalah cerminan orangtua, seorang anak yang besar biasanya lahir dari keluarga yang baik. Dan ibu memegang peranan yang sangat penting dalam pengajaran ini. Oleh Allah swt. seorang ibu telah ditempatkan pada kemuliaan yang sangat tinggi menyangkut masalah pendidikan anak. Itulah mengapa tolak ukur seorang anak ditentukan dari ibunya. Bahkan penelitian yang sekarang ada menemukan bahwa anak-anak yang kurang atau mendapatkan belaian dan pelukan dari ibunya akan lebih mudah terserang penyakit daripada yang sering dibelai dan dipeluk ibunya. Pendidikan yang baik sejak dini akan melahirkan generasi yang taat pada Allah dan merindukan tegaknya Islam. Itu adalah sebuah kepastian.
Dari Abdullah bin Umar ra dikatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “….dan seorang istri adalah pemimpin bagi rumah suami dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka..” (HR Bukhari Muslim)
Dari Abu Hurairah dikatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik wanita yang mengendarai unta adalah wanita Quraisy”. Dalam riwayat lain disebutkan, “Wanita Quraisy yang saleh adalah wanita yang sangat menyayangi anaknya yang masih kecil dan sangat menjaga suaminya dalam soal miliknya.” (HR Bukhari)
Walhasil, peran seorang muslimah dalam menyongsong kebangkitan ummat sangatlah luar biasa dan mulia. Peran tersebut memang sebuah peran yang luar biasa berat, eleh karena itulah peran ini haruslah ditanggung dan dilaksanakan secara berjama’ah, dan bersama-sama. Dan yakinlah bahwa kita adalah ummat terbaik yang telah dilahirkan diantara manusia, dan apa-apa yang Allah wajibkan kepada muslimah pastilah dapat dikerjakan karena sesungguhnya secara fitri setiap muslimah telah dilengkapi dengan keistimewaan-keistimewaan tertentu untuk meraih kemuliaan yang telah dijanjikan Allah. Oleh karena itu. tolok ukur berhasil atau tidak peran wanita dalam kebangkitan mestilah diukur dengan tolok ukur yang Islami dan khusus buat wanita, dan tidak boleh dengan tolok ukur yang lain. Ketila pria dan wanita sama-sama menjalankan peran mereka, maka dengan pembinaan yang intensif, pengopinian yang kontinu dan pembentukan jaringan yang kokoh, maka akan terjadi peningkatan taraf berfikir dalam masyarakat dan insya Allah Islam akan bangkit.
Akhir al-kalam, peran seorang muslimah dalam menyongsong kebangkitan adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi wanita shalihah. Wanita yang akan dicintai dan disayangi oleh Allah dan rasul-Nya, orangtua dan keluarganya, shahabat-shahabatnya, suaminya dan anak-anaknya. Itu adalah jaminan Allah. Tidak ada kata terlambat, persiapkan diri sejak saat ini. Amiin.

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
(TQS ali-Imraan [3]:110)

wallahu a’lam bi ash shawab
presentasi terkait artikel ini: Karunia Terbaik Buat Wanita
follow @felixsiauw for more.. :)

Belajar Membaca Al-Quran Dengan Tajwid

Selasa, 03 Mei 2016

Belajar Membaca Al-Quran Dengan Tajwid

Berikut ini ada dalil atau pernyataan shahih dari Allah SWT yang mewajibkan setiap HambaNya untuk membaca Al-Quran dengan memahami tajwid, diantaranya :

 

1. Dalil pertama di ambil dari Al-Quran. Allah SWT berfirman dalam ayatNya yang artinya “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan/tartil (bertajwid)”[QS:Al-Muzzammil (73): 4]. Ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca Al-Quran yang diturunkan kepadanya dengan tartil, yaitu memperindah pengucapan setiap huruf-hurufnya (bertajwid).

2. Dalil kedua diambil dari As-Sunnah ( Hadist ) yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah r.a.(istri Nabi Muhammad SAW), ketika beliau ditanya tentang bagaimana bacaan Al-Quran dan sholat Rasulullah SAW, maka beliau menjawab: ”Ketahuilah bahwa Baginda S.A.W. Sholat kemudian tidur yang lamanya sama seperti ketika beliau sholat tadi, kemudian Baginda kembali sholat yang lamanya sama seperti ketika beliau tidur tadi, kemudian tidur lagi yang lamanya sama seperti ketika beliau sholat tadi hingga menjelang shubuh. Kemudian dia (Ummu Salamah) mencontohkan cara bacaan Rasulullah S.A.W. dengan menunjukkan (satu) bacaan yang menjelaskan (ucapan) huruf-hurufnya satu persatu.” (Hadits 2847 Jamik At-Tirmizi).

3. Dalil ketiga diambil dari Ijma atau pendapat para ulama besar Islam. Yakni kesepakatan para ulama yang dilihat dari zaman Rasulullah SAW hingga sampai saat ini, yang menyatakan bahwa membaca Al-Quran dengan ber-Tajwid merupakan hukum atau sesuatu yang fardhu dan wajib.

 

Hukum-hukum dalam tajwid beserta komponen ilmu tajwid yang harus dikenal dipelajari, dipahami serta diamalkan dalam membaca Al-Quran, antara lain :

1. Hukum Ta’awuz dan Basmalah

Isti’azah atau taawuz adalah melafazkan atau membunyikannya : “A’uzubillahi minasy syaitaanir rajiim” (ﺍﻋﻮﺬ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻴﻄﻥ ﺍﻟﺮﺟﻴﻢ)

cara melafazkan basmalah adalah bunyinya:

“Bismillahir rahmaanir rahiim” (ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺤﻤﻦ ﺍﻟﺮﺤﻴﻢ).

 

Terdapat 4 cara membaca iati’azah, basmalah dan surat :

a. memutuskan isti’azah (berhenti) kemudian baru membaca basmalah,

b. menyambungkan basmalah dengan surah tanpa berhenti,

c. membaca isti’azah dan basmalah terus-menerus tanpa henti,

d. membaca isti’azah, basmalah dan awal surat terus-menerus tanpa berhenti.

 

Terdapat 4 cara membaca basmalah di antara dua surat. Membaca basmalah adalah tanda awal dimulai suatu bacaan dalam surat Al-Quran. Guna dari membaca basmalah suatu keharusan dengan tujuan :

a. Basmalah sebagai pemisah dengan surat Al-Quran yang lain

b. Sebagai penghubung dengan awal surat Al-Quran

c. Sebagai penghubung dari kesemua surat Al-Quran

d. Menghubungkan akhir surat dengan basamalah, lalu berhenti. Namun basamalah tidak selalu menjadi surat awal yang harus terus dibaca untuk melanjutkan surat berikutnya. Walau bagaimana pun, tidak harus membaca demikian karena dikhawatirkan ada yang mengganggap basmalah merupakan salah satu ayat daripada surat yang sebelumnya.

 

BACAAN NUN SUKUN DAN TANWIN


BACAAN MIM SUKUN
 
 
 
Hukum-hukum dalam tajwid beserta komponen ilmu tajwid yang harus dikenal dipelajari, dipahami serta diamalkan dalam membaca Al-Quran, antara lain :
1. Hukum Ta’awuz dan Basmalah
Isti’azah atau taawuz adalah melafazkan atau membunyikannya : “A’uzubillahi minasy syaitaanir rajiim” (ﺍﻋﻮﺬ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻴﻄﻥ ﺍﻟﺮﺟﻴﻢ)
cara melafazkan basmalah adalah bunyinya:
“Bismillahir rahmaanir rahiim” (ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺤﻤﻦ ﺍﻟﺮﺤﻴﻢ).
Terdapat 4 cara membaca iati’azah, basmalah dan surat :
a. memutuskan isti’azah (berhenti) kemudian baru membaca basmalah,
b. menyambungkan basmalah dengan surah tanpa berhenti,
c. membaca isti’azah dan basmalah terus-menerus tanpa henti,
d. membaca isti’azah, basmalah dan awal surat terus-menerus tanpa berhenti.
Terdapat 4 cara membaca basmalah di antara dua surat. Membaca basmalah adalah tanda awal dimulai suatu bacaan dalam surat Al-Quran. Guna dari membaca basmalah suatu keharusan dengan tujuan :
a. Basmalah sebagai pemisah dengan surat Al-Quran yang lain
b. Sebagai penghubung dengan awal surat Al-Quran
c. Sebagai penghubung dari kesemua surat Al-Quran
d. Menghubungkan akhir surat dengan basamalah, lalu berhenti. Namun basamalah tidak selalu menjadi surat awal yang harus terus dibaca untuk melanjutkan surat berikutnya. Walau bagaimana pun, tidak harus membaca demikian karena dikhawatirkan ada yang mengganggap basmalah merupakan salah satu ayat daripada surat yang sebelumnya.
Dalam ilmu tajwid juga dikenal ada 9 hukum bacaan yang isinya menjelaskan bagian-bagian tanda baca dan cara melafazkannya atau pengucapannya, antara lain :
A. Hukum nun mati dan tanwin, terdiri dari :
Contoh : ayat diatas merupakan surat Al-Quran ( QS: Al-Baqarah ayat 145 ), huruf yang diberi warna (merah : izhar halqi), (hijau : idgham), ( biru : ikhfa haqiqi), ( ungu : iqlab).
1. Izhar Halqi
Izhar halqi bila bertemu dengan huruf izhar maka cara melafazkan atau mengucapkannya harus “jelas” Jika nun mati atau tanwin bertemu huruf-huruf Halqi (tenggorokan) seperti: alif/hamzah(ء), ha’ (ح), kha’ (خ), ‘ain (ع), ghain (غ), dan ha’ (). Izhar Halqi yang artinya dibaca jelas.
Contoh : نَارٌ حَامِيَةٌ
2. Idgham
Hukum bacaan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
Jika nun mati atau tanwin bertemu huruf-huruf seperti: mim (م), nun (ن), wau (و), dan ya’ (ي), maka ia harus dibaca lebur dengan dengung.
Contoh: فِيْ عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ harus dibaca Fī ʿamadim mumaddadah.
3. Idgham Bilaghunnah
Jika nun mati atau tanwin bertemu huruf-huruf seperti ra’ (ر) dan lam (ل), maka ia harus dibaca lebur tanpa dengung.
Contoh: مَنْ لَمْ harus dibaca Mal lam
Pengecualian
Jika nun mati atau tanwin bertemu dengan keenam huruf idgam tersebut tetapi ditemukan dalam satu kata, seperti بُنْيَانٌ, اَدُّنْيَا, قِنْوَانٌ, dan صِنْوَانٌ, maka nun mati atau tanwin tersebut dibaca jelas.
4. Iqlab
Hukum ini terjadi apabila nun mati atau tanwin bertemu dengan huruf ba’ (ب). Dalam bacaan ini, bacaan nun mati atau tanwin berbah menjadi bunyi mim (م).
Contoh: لَيُنۢبَذَنَّ harus dibaca Layumbażanna
5. Ikhfa’ haqiqi
Jika nan mati atau tanwin bertemu dengan huruf-huruf seperti ta’(ت), tha’ (ث), jim (ج), dal (د), dzal (ذ), zai (ز), sin (س), syin (ش), sod (ص), dhod (ض), tho (ط), zho (ظ), fa’ (ف), qof (ق), dan kaf (ك), maka ia harus dibaca samar-samar (antara Izhar dan Idgham)
Contoh:  
نَقْعًا فَوَسَطْنَ
B. Hukum mim mati
Selain hukum nun mati dan tanwin adapula hukum lainnya dalam mempelajari dan membaca Al-Quran yakni Hukum mim mati, yang disebut hukum mim mati jika bertemu dengan huruf mim mati (مْ) yang bertemu dengan huruf-huruf arab tertentu.
Contoh bacaan diatas diambil dari (QS: Al-Mu’minun :55-59) yang diberi tanda warna  (biru : ikhfa syafawi), ( merah : idgham mimi), (hijau : izhar  syafawi).
Hukum mim mati memiliki 3 jenis, yang diantaranya adalah :
1. Ikhfa Syafawi (ﺇﺧﻔﺎﺀ ﺷﻔﻮﻱ)
Apabila mim mati (مْ) bertemu dengan ba (ب), maka cara membacanya harus dibunyikan samar-samar di bibir dan dibaca didengungkan.
Contoh: (فَاحْكُم بَيْنَهُم) (تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ) (وَكَلْبُهُم بَاسِطٌ)
2. Idgham Mimi ( إدغام ميمى)
Apabila mim mati (مْ) bertemu dengan mim (م), maka cara membacanya adalah seperti menyuarakan mim rangkap atau ditasyidkan dan wajib dibaca dengung. Idgham mimi disebut juga idgham mislain atau mutamasilain.
Contoh : (أَم مَنْ) (كَمْ مِن فِئَةٍ)
3. Izhar Syafawi (ﺇﻇﻬﺎﺭ ﺷﻔﻮﻱ)
Apabila mim mati (مْ) bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah selain huruf mim (مْ) dan ba (ب), maka cara membacanya dengan jelas di bibir dan mulut tertutup.
Contoh: (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ) (تَمْسُونَ)
C. Hukum mim dan nun tasydid
Hukum mim dan nun tasydid juga disebut sebagai wajib al-ghunnah (ﻭﺍﺟﺐ ﺍﻟﻐﻨﻪ) yang bermakna bahwa pembaca wajib untuk mendengungkan bacaan. Maka jelaslah yang bacaan bagi kedua-duanya adalah didengungkan. Hukum ini berlaku bagi setiap huruf mim dan nun yang memiliki tanda syadda atau bertasydid (ﻡّ dan نّ).
Contoh: ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠِﻨﱠﺔ ﻭَﺍﻟﻨﱠﺎﺱِ
D. Hukum alif lam ma’rifah
Alif lam ma’rifah adalah dua huruf yang ditambah pada pangkal atau awal dari kata yang bermakna nama atau isim. Terdapat dua jenis alif lam ma’rifah yaitu qamariah dan syamsiah.
– Alif lam qamariah ialah lam yang diikuti oleh 14 huruf hijaiah, seperti: alif/hamzah(ء), ba’ (ب), jim (ج), ha’ (ح), kha’ (خ), ‘ain (ع), ghain (غ), fa’ (ف), qaf (ق), kaf (ك), mim (م), wau (و), ha’ (ﮬ) dan ya’ (ي). Hukum alif lam qamariah diambil dari bahasa arab yaitu al-qamar (ﺍﻟﻘﻤﺮ) yang artinya adalah bulan. Maka dari itu, cara membaca alif lam ini adalah dibacakan secara jelas tanpa meleburkan bacaannya.
– Alif lam syamsiah ialah lam yang diikuti oleh 14 huruf hijaiah seperti: ta’ (ت), tha’ (ث), dal (د), dzal (ذ), ra’ (ر), zai (ز), sin (س), syin (ش), sod (ص), dhod (ض), tho (ط), zho (ظ), lam (ل) dan nun (ن). Nama asy-syamsiah diambil dari bahasa Arab (ﺍﻟﺸﻤﺴﻴﻪ) yang artinya adalah matahari. Maka dari itu, cara membaca alif lam ini tidak dibacakan melainkan dileburkan kepada huruf setelahnya.
E. Hukum idgham
Idgham (ﺇﺩﻏﺎﻡ) adalah berpadu atau bercampur antara dua huruf atau memasukkan satu huruf ke dalam huruf yang lain. Maka dari itu, bacaan idgham harus dilafazkan dengan cara meleburkan suatu huruf kepada huruf setelahnya. Terdapat tiga jenis idgham:
– Idgham mutamathilain (ﺇﺩﻏﺎﻡ ﻣﺘﻤﺎﺛﻠﻴﻦ – yang serupa) ialah pertemuan antara dua huruf yang sama sifat dan makhrajnya (tempat keluarnya) dal bertemu dal dan sebagainya. Hukum adalah wajib diidghamkan. Contoh: ﻗَﺪ ﺩَﺨَﻠُﻮاْ.
– Idgham mutaqaribain (ﺇﺩﻏﺎﻡ ﻣﺘﻘﺎﺭﺑﻴﻦ – yang hampir) ialah pertemuan dua huruf yang sifat dan makhrajnya hampir sama, seperti ba’ bertemu mim, qaf bertemu kaf dan tha’ bertemu dzal. Contoh: ﻧَﺨْﻠُﻘڪُﻢْ
– Idgham mutajanisain (ﺇﺩﻏﺎﻡ ﻣﺘﺠﺎﻧﺴﻴﻦ – yang sejenis) ialah pertemuan antara dua huruf yang sama makhrajnya tetapi tidak sama sifatnya seperti ta’ dan tha, lam dan ra’ serta dzal dan zha. Contoh: 
ﻗُﻞ ﺭَﺏ
F. Hukum mad
Mad yang artinya yaitu melanjutkan atau melebihkan. Dari segi istilah Ulama tajwid dan ahli bacaan, mad bermakna memanjangkan suara dengan lanjutan menurut kedudukan salah satu dari huruf mad. Terdapat dua bagian mad, yaitu mad asli dan mad far’i. Terdapat tiga huruf mad yaitu alif, wau, dan ya’ dan huruf tersebut haruslah berbaris mati atau saktah. Panjang pendeknya bacaan mad diukur dengan menggunakan harakat.
G. Hukum ra’
Hukum ra’ adalah hukum bagaimana membunyikan huruf ra’ dalam bacaan. Terdapat tiga cara yaitu kasar atau tebal, halus atau tipis, atau harus dikasarkan dan ditipiskan.
* Bacaan ra’ harus dikasarkan apabila:
1. Setiap ra’ yang berharakat atas atau fathah.
Contoh: ﺭَﺑﱢﻨَﺎ
2. Setiap ra’ yang berbaris mati atau berharakat sukun dan huruf sebelumnya berbaris atas atau fathah.
Contoh: ﻭَﺍﻻَﺭْﺽ
3. Ra’ berbaris mati yang huruf sebelumnya berbaris bawah atau kasrah.
Contoh: ٱﺭْﺟِﻌُﻮْﺍ
4. Ra’ berbaris mati dan sebelumnya huruf yang berbaris bawah atau kasrah tetapi ra’ tadi berjumpa dengan huruf isti’la’.
Contoh: ﻣِﺮْﺻَﺎﺪ
* Bacaan ra’ yang ditipiskan adalah apabila:
1. Setiap ra’ yang berbaris bawah atau kasrah.
Contoh: ﺭِﺟَﺎﻝٌ
2. Setiap ra’ yang sebelumnya terdapat mad lain
Contoh: ﺧَﻴْﺮٌ
3. Ra’ mati yang sebelumnya juga huruf berbaris bawah atau kasrah tetapi tidak berjumpa dengan huruf isti’la’.
Contoh: ﻓِﺮْﻋَﻮﻦَ
* Bacaan ra’ yang harus dikasarkan dan ditipiskan adalah apabila setiap ra’ yang berbaris mati yang huruf sebelumnya berbaris bawah dan kemudian berjumpa dengan salah satu huruf isti’la’.
Contoh: ﻓِﺮْﻕ
Isti’la’ (ﺍﺳﺘﻌﻼ ﺀ): terdapat tujuh huruf yaitu kha’ (خ), sod (ص), dhad (ض), tha (ط), qaf (ق), dan zha (ظ).
H. Qalqalah
Qalqalah (ﻗﻠﻘﻠﻪ) adalah bacaan pada huruf-huruf qalqalah dengan bunyi seakan-akan berdetik atau memantul. Huruf qalqalah ada lima yaitu qaf (ق), tha (ط), ba’ (ب), jim (ج), dan dal (د). Qalqalah terbagi menjadi dua jenis:
– Qalqalah kecil yaitu apabila salah satu daripada huruf qalqalah itu berbaris mati dan baris matinya adalah asli karena harakat sukun dan bukan karena waqaf.
Contoh: ﻴَﻄْﻤَﻌُﻮﻥَ, ﻴَﺪْﻋُﻮﻥَ
– Qalqalah besar yaitu apabila salah satu daripada huruf qalqalah itu dimatikan karena waqaf atau berhenti. Dalam keadaan ini, qalqalah dilakukan apabila bacaan diwaqafkan tetapi tidak diqalqalahkan apabila bacaan diteruskan.
Contoh: ٱﻟْﻔَﻟَﻖِ, ﻋَﻟَﻖٍ
I. Waqaf (وقف)
Waqaf dari sudut bahasa ialah berhenti atau menahan, manakala dari sudut istilah tajwid ialah menghentikan bacaan sejenak dengan memutuskan suara di akhir perkataan untuk bernapas dengan niat ingin menyambungkan kembali bacaan. Terdapat empat jenis waqaf yaitu:
ﺗﺂﻡّ (taamm) – waqaf sempurna – yaitu mewaqafkan atau memberhentikan pada suatu bacaan yang dibaca secara sempurna, tidak memutuskan di tengah-tengah ayat atau bacaan, dan tidak mempengaruhi arti dan makna dari bacaan karena tidak memiliki kaitan dengan bacaan atau ayat yang sebelumnya maupun yang sesudahnya
ﻛﺎﻒ (kaaf) – waqaf memadai – yaitu mewaqafkan atau memberhentikan pada suatu bacaan secara sempurna, tidak memutuskan di tengah-tengah ayat atau bacaan, namun ayat tersebut masih berkaitan makna dan arti dari ayat sesudahnya
ﺣﺴﻦ (Hasan) – waqaf baik – yaitu mewaqafkan bacaan atau ayat tanpa mempengaruhi makna atau arti, namun bacaan tersebut masih berkaitan dengan bacaan sesudahnya
ﻗﺒﻴﺢ (Qabiih) – waqaf buruk – yaitu mewaqafkan atau memberhentikan bacaan secara tidak sempurna atau memberhentikan bacaan di tengah-tengah ayat, wakaf ini harus dihindari karena bacaan yang diwaqafkan masih berkaitan lafaz dan maknanya dengan bacaan yang lain.
Tanda-tanda waqaf lainnya :
1. Tanda mim ( مـ ) disebut juga dengan Waqaf Lazim. yaitu berhenti di akhir kalimat sempurna. Wakaf Lazim disebut juga Wakaf Taamm (sempurna) karena wakaf terjadi setelah kalimat sempurna dan tidak ada kaitan lagi dengan kalimat sesudahnya. Tanda mim ( م ), memiliki kemiripan dengan tanda tajwid iqlab, namun sangat jauh berbeda dengan fungsi dan maksudnya;
2. tanda tho ( ﻁ ) adalah tanda Waqaf Mutlaq dan haruslah berhenti.
3.tanda jim ( ﺝ ) adalah Waqaf Jaiz. Lebih baik berhenti seketika di sini walaupun diperbolehkan juga untuk tidak berhenti.
4. tanda zha ( ﻇ ) bermaksud lebih baik tidak berhenti
5. tanda sad ( ﺹ ) disebut juga dengan Waqaf Murakhkhas, menunjukkan bahwa lebih baik untuk tidak berhenti namun diperbolehkan berhenti saat darurat tanpa mengubah makna. Perbedaan antara hukum tanda zha dan sad adalah pada fungsinya, dalam kata lain lebih diperbolehkan berhenti pada waqaf sad
6. tanda sad-lam-ya’ ( ﺻﻠﮯ ) merupakan singkatan dari “Al-washl Awlaa” yang bermakna “wasal atau meneruskan bacaan adalah lebih baik”, maka dari itu meneruskan bacaan tanpa mewaqafkannya adalah lebih baik;
7. tanda qaf ( ﻕ ) merupakan singkatan dari “Qiila alayhil waqf” yang bermakna “telah dinyatakan boleh berhenti pada wakaf sebelumnya”, maka dari itu lebih baik meneruskan bacaan walaupun boleh diwaqafkan
8. tanda sad-lam ( ﺼﻞ ) merupakan singkatan dari “Qad yuushalu” yang bermakna “kadang kala boleh diwasalkan”, maka dari itu lebih baik berhenti walau kadang kala boleh diwasalkan
9. tanda Qif ( ﻗﻴﻒ ) bermaksud berhenti! yakni lebih diutamakan untuk berhenti. Tanda tersebut biasanya muncul pada kalimat yang biasanya pembaca akan meneruskannya tanpa berhenti
10. tanda sin ( س ) atau tanda Saktah ( ﺳﮑﺘﻪ ) menandakan berhenti seketika tanpa mengambil napas. Dengan kata lain, pembaca haruslah berhenti seketika tanpa mengambil napas baru untuk meneruskan bacaan
11. tanda Waqfah ( ﻭﻗﻔﻪ ) bermaksud sama seperti waqaf saktah ( ﺳﮑﺘﻪ ), namun harus berhenti lebih lama tanpa mengambil napas
12. tanda Laa ( ﻻ ) bermaksud “Jangan berhenti!”. Tanda ini muncul kadang-kala pada penghujung maupun pertengahan ayat. Jika ia muncul di pertengahan ayat, maka tidak dibenarkan untuk berhenti dan jika berada di penghujung ayat, pembaca tersebut boleh berhenti atau tidak
13. tanda kaf ( ﻙ ) merupakan singkatan dari “Kadzaalik” yang bermakna “serupa”. Dengan kata lain, makna dari waqaf ini serupa dengan waqaf yang sebelumnya muncul
14. tanda bertitik tiga ( … …) yang disebut sebagai Waqaf Muraqabah atau Waqaf Ta’anuq (Terikat). Waqaf ini akan muncul sebanyak dua kali di mana-mana saja dan cara membacanya adalah harus berhenti di salah satu tanda tersebut. Jika sudah berhenti pada tanda pertama, tidak perlu berhenti pada tanda kedua dan sebaliknya.
Sebenarnya masih banyak hukum bacaan dan tanda bacaan dalam Al-Quran bila dipelajari memerlukan waktu pemahaman yang cukup lama agar fasih dan benar dalam membaca, melafazkan dan pengucapan harakat (panjang-pendeknya suatu bacaan), tajwid lainnya yang harus dipelajari dan dipahami. Lebih baik lagi apabila mempelajari kitab Iqro (kitab kecil ).

Category Macam-macam sholat sunnah

Macam-Macam sholat sunnah

 

 Macam shalat sunah adalah :   
1.  Shalat Wudhu, Yaitu shalat
sunnah dua rakaat yang bisa dikerjakan setiap selesai wudhu, niatnya :Ushalli sunnatal wudlu-I rakataini lillahi Taaalaa’ artinya : ‘aku niat shalat sunnah wudhu dua rakaat karena Allah 

   2.  Shalat Tahiyatul Masjid, yaitu shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan ketika memasuki masjid, sebelum duduk untuk menghormati masjid. Rasulullah bersabda
‘Apabila seseorang diantara kamu masuk masjid, maka janganlah hendak duduk sebelum shalat dua rakaat lebih dahulu’ (H.R. Bukhari dan Muslim). Niatnya :
Ushalli sunnatal Tahiyatul Masjidi  rakataini lillahi Taaalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah tahiyatul masjid dua rakaat karena Allah

  3.   Shalat Dhuha. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika matahari baru naik. Jumlah rakaatnya minimal 2 maksimal 12. Dari Anas berkata Rasulullah ‘Barang siapa shalat Dhuha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga’ (H.R. Tarmiji dan Abu Majah). Niatnya :
Ushalli sunnatal Dhuha rakataini lillahi Taaalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah dhuha dua rakaat karena Allah

 4.   Shalat Rawatib. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan mengiringi shalat fardhu. Niatnya :
a.   Qabliyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan sebelum shalat wajib. Waktunya : 2 rakaat sebelum shalat subuh, 2 rakaat sebelum shalat Dzuhur, 2 atau 4 rakaat sebelum shalat Ashar, dan 2 rakaat sebelum shalat Isya’. Niatnya:
‘Ushalli sunnatadh Dzuhri*  rakataini Qibliyyatan lillahi Taaalaa’ Artinya: ‘aku niat shalat sunnah sebelum dzuhur dua rakaat karena Allah

       * bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan.
b.   Badiyyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan setelah shalat fardhu. Waktunya : 2 atau 4 rakaat sesudah shalat Dzuhur, 2 rakaat sesudah shalat Magrib dan 2 rakaat sesudah shalat Isya. Niatnya :
Ushalli sunnatadh Dzuhri*  rakataini Badiyyatan lillahi Taaalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah sesudah  dzuhur dua rakaat karena Allah
       * bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan.

5.  Shalat Tahajud, adalah shalat sunnah pada waktu malam. Sebaiknya lewat tengah malam. Dan setelah tidur. Minimal 2 rakaat maksimal sebatas kemampuan kita. Keutamaan shalat ini, diterangkan dalam Al-Qur’an. ‘Dan pada sebagian malam hari bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ketempat yang terpuji’(Q.S. Al Isra : 79 ). Niatnya :
Ushalli sunnatal tahajjudi  rakataini lillahi Taaalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah tahajjud dua rakaat karena Allah

6.  Shalat Istikharah, adalah shalat sunnah dua rakaat untuk meminta petunjuk yang baik, apabila kita menghadapi dua pilihan, atau ragu dalam mengambil keputusan. Sebaiknya dikerjakan pada 2/3 malam terakhir. Niatnya :
Ushalli sunnatal Istikharah  rakataini lillahi Taaalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah Istikharah dua rakaat karena Allah

   7.  Shalat Hajat, adala shalat sunnah dua rakaat untuk memohon agar hajat kita dikabulkan atau diperkenankan oleh Allah SWT. Minimal 2 rakaat maksimal 12 rakaat dengan salam setiap 2 rakaat. Niatnya :
Ushalli sunnatal Haajati  rakataini lillahi Taaalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah hajat dua rakaat karena Allah

8. Shalat Mutlaq, adalah shalat sunnah tanpa sebab dan tidak ditentukan waktunya, juga tidak dibatasi jumlah rakaatnya. ‘Shalat itu suatu perkara yang baik, banyak atau sedikit’ (Al Hadis). Niatnya :
Ushalli sunnatal rakataini lillahi Taaalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah dua rakaat karena Allah

9.   Shalat Taubat, adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah merasa berbuat dosa kepada Allah SWT, agar mendapat ampunan-Nya. Niatnya:
Ushalli sunnatal Taubati  rakataini lillahi Taaalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah taubat  dua rakaat karena Allah

10. Shalat Tasbih, adalah shalat sunnah yang dianjurkan dikerjakan setiap malam, jika tidak bisa seminggu sekali, atau paling tidak seumur hidup sekali. Shalat ini sebanyak empat rakaat, dengan ketentuan jika dikerjakan pada siang hari cukup dengan satu salam, Jika dikerjakan pada malam hari dengan dua salam. Cara mengerjakannya

      Niat :
 Ushalli sunnatan tasbihi rakaataini lilllahi taaalaa artinya ‘aku niat shalat sunnah tasbih dua rakaat karena Allah
a. Usai membaca surat Al Fatehah membaca tasbih 15 kali.
b. Saat ruku’, usai membaca do’a ruku membaca tasbih 10 kali
c. Saat ‘itidal, usai membaca do’a ‘itidal membaca tasbih 10 kali
d. Saat sujud, usai membaca doa sujud membaca tasbih 10 kali
e. Usai membaa do’a duduk diantara dua sujud membaca tasbi 10 kali.
f. Usai membaca doa sujud kedua membaca tasbih 10 kali.
Jumlah keseluruhan tasbih yang dibaca pada setiap rakaatnya sebanyak 75 kali. Lafadz bacaan tasbih yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Subhanallah wal hamdu lillahi walaa ilaaha illallahu wallahu akbar’ artinya : ‘Maha suci Allah yang Maha Esa. Segala puji bagi Akkah, Dzat yang Maha Agung’.

11. Shalat Tarawih,  adalah shalat sunnah sesudah shalat Isya’pada bulan Ramadhan. Menegenai bilangan rakaatnya disebutkan dalam hadis. ‘Yang dikerjakan oleh Rasulullah saw, baik pada bulan ramadhan atau lainnya tidak lebih dari sebelas rakaat’ (H.R. Bukhari). Dari Jabir ‘Sesungguhnya Nabi saw telah shallat bersama-sama mereka delapan rakaat, kemudian beliau shalat witir.’ (H.R. Ibnu Hiban)
Pada masa khalifah Umar bin Khathtab, shalat tarawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat dan hal ini tidak dibantah oleh para sahabat terkenal dan terkemuka. Kemudian pada zaman Umar bin Abdul Aziz bilangannya dijadikan 36 rakaat. Dengan demikian bilangan rakaatnya tidak ditetapkan secara pasti dalam syara’, jadi tergantung pada kemampuan kita masing-masing, asal tidak kurang dari 8 rakaat. Niat shalat tarawih :
Ushalli sunnatan Taraawiihi rakataini (Imamam/makmuman) lillahi taaallaa’ artinya : ‘Aku niat shalat sunat tarawih dua rakaat (imamam/makmum) karena Allah

12. Shalat Witir, adalah shalat sunnat mu’akad (dianjurkan) yang biasanya dirangkaikan dengan shalat tarawih, Bilangan shalat witir 1, 3, 5, 7 sampai 11 rakaat. Dari Abu Aiyub, berkata Rasulullah ‘Witir itu hak, maka siapa yang suka mengerjakan lima, kerjakanlah. Siapa yang suka mengerjakan tiga, kerjakanlah. Dan siapa yang suka satu maka kerjakanlah’(H.R. Abu Daud dan Nasai). Dari Aisyah : ‘Adalah nabi saw. Shalat sebelas rakaat diantara shalat isya dan terbit fajar. Beliau memberi salam setiap dua rakaatdan yang penghabisan satu rakaat (H.R. Bukhari dan Muslim)
Ushalli sunnatal witri rakatan lillahi taaalaa’artinya : ‘Aku niat shalat sunnat witir dua rakaat karena Allah

13. Shalat Hari Raya, adalah shalat Idul Fitri pada 1 Syawal dan Idul Adha pada 10 Dzulhijah. Hukumnya sunat Mu’akad (dianjurkan).’Sesungguhnya kami telah memberi engkau (yaa Muhammad) akan kebajikan yang banyak, sebab itu shalatlah engkau dan berqurbanlah karena Tuhanmu pada Idul Adha – ‘(Q.S. Al Kautsar.1-2)Dari Ibnu Umar ‘Rasulullah, Abu Bakar, Umar pernah melakukan shalat pada dua hari raya sebelum berkhutbah.’(H.R. Jama’ah). Niat Shalat Idul Fitri :
Ushalli sunnatal liiidil fitri rakataini (imamam/makmumam) lillahitaaalaa’ artinya : ‘Aku niat shalat idul fitri dua rakaat (imam/makmum) karena Allah
Niat Shalat Idul Adha :
Ushalli sunnatal liiidil Adha rakataini (imamam/makmumam) lillahitaaalaa’ artinya : ‘Aku niat shalat idul adha dua rakaat (imam/makmum) karena Allah

Waktu shalat hari raya adalah setelah terbit matahari sampai condongnya matahari. Syarat, rukun dan sunnatnya sama seperti shalat yang lainnya. Hanya ditambah beberapa sunnat sebagai berikut:
a.  Berjamaah
b.  Takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakat kedua
c.  Mengangkat tangan setinggi bahu pada setiap takbir.
d.  Setelah takbir yang kedua sampai takbir yang terakhir membaca tasbih.
e.  Membaca surat Qaf dirakaat pertama dan surat Al Qomar di rakaat kedua.
Atau surat A’la dirakat pertama dan surat Al Ghasiyah pada rakaat kedua.
f.   Imam menyaringkan bacaannya.
g.  Khutbah dua kali setelah shalat sebagaimana khutbah jum’at
h.  Pada khutbah Idul Fitri memaparkan tentang zakat fitrah dan pada Idul
Adha tentang hukum-hukum Qurban.
i.   Mandi, berhias, memakai pakaian sebaik-baiknya.
j.   Makan terlebih dahulu pada shalat Idul Fitri pada Shalat Idul Adha
sebaliknya.


14. Shalat Khusuf, adalah shalat sunat sewaktu terjadi gerhana bulan atau matahari. Minimal dua rakaat. Caranya mengerjakannya :
a. Shalat dua rakaat dengan 4 kali ruku’ yaitu pada rakaat pertama, setelah ruku’ dan I’tidal membaca fatihah lagi kemudian ruku’ dan I’tidal kembali setelah itu sujud sebagaimana biasa. Begitu pula pada rakaat kedua.
b. Disunatkan membaca surat yang panjang, sedang membacanya pada waktu gerhana bulan harus nyaring sedangkan pada gerhana matahari sebaliknya.
Niat shalat gerhana bulan :
Ushalli sunnatal khusuufi rakataini  lillahitaaalaa’ artinya : ‘Aku niat shalat gerhana bulan  dua rakaat  karena Allah

15. Shalat Istiqa,adalah shalat sunat yang dikerjakan untuk memohon hujan kepada Allah SWT. Niatnya ‘
Ushalli sunnatal Istisqaa-I  rakataini (imamam/makmumam) lillahitaaalaa’ artinya : ‘Aku niat shalat istisqaa dua rakaat (imam/makmum) karena Allah
Syarat-syarat mengerjakana Shalat Istisqa :

a.  Tiga hari sebelumnya agar ulama memerintahkan umatnya bertaobat dengan berpusa dan meninggalkan segala kedzaliman serta menganjurkan beramal shaleh. Sebab menumpuknya dosa itu mengakibatkan hilangnya rejeki dan datangnya murka Allah. ‘Apabila kami hendak membinasakan suatu negeri, maka lebih dulu kami perbanyak orang-orang yang fasik, sebab kefasikannyalah mereka disiksa, lalu kami robohkan (hancurkan) negeri mereka sehancur-hancurnya’(Q.S. Al Isra’ : 16).
b.  Pada hari keempat semua penduduk termasuk yang lemah dianjurkan pergi kelapangan dengan pakaian sederana dan tanpa wangi-wangian untuk shalat Istisqa’
c.  Usai shalat diadakan khutbah dua kali. Pada khutbah pertama hendaknya membaca istigfar 9 X dan pada khutbah kedua 7 X.
Pelaksanaan khutbah istisqa berbeda dengan khutbah lainnya, yaitu :
a.  Khatib disunatkan memakai selendang.
b.  Isi khutbah menganjurkan banyak beristigfar, dan berkeyakinan bahwa Allah SWT akan mengabulkan permintaan mereka.
c.  Saat berdo’a hendaknya mengangkat tangan setinggi-tingginya.
Saat berdo’a pada khutbah kedua, khatib hendaknya menghadap kiblat membelakangi makmumnya